Dalam catatan kuratorialnya Wicaksono Adi menulis, di tengah pengaruh maraknya seni rupa kontemporer yang “serba boleh”, masih banyak yang setia dengan disiplin seni konvensional. Mereka tetap bekerja dengan paradigma konvensional itu, termasuk para seniman Tasikmalaya, plus satu dari Jakarta, yang menggerlar pameran ini.
Menurut Adi, menyaksikan karya-karya mereka, beberapa hal dapat kita catat. Pertama, mereka ternyata belum tergoda ikut menghambur ke dalam pusaran hiruk pikuk seni rupa kontemporer yang serba boleh itu. Tentu, itu tidak berarti bahwa mereka terisolasi dari segala gemuruh hiruk pikuk semacam itu, karena mereka juga menyaksikan berbagai peristiwa penting seni kontemporer Indonesia saat ini. Bahkan dua di antaranya, yakni Acep Zamzam Noor (ITB) dan Iwan Koeswana (IKJ), dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari arus utama seni rupa kontemporer Indonesia di era 1980-an.
Saat itu mereka sudah tampil di beberapa pameran di beberapa galeri penting di Jakarta, Jogja, Bandung, dan di manca negara. Acep Zamzam Noor dikenal dengan karya-karya semi-representasional yang liar dan sublim dalam mengelaborasi tema-tema keterasingan diri yang kelam-ngilu. 20 tahun kemudian kita mengenal karya-karya seniman muda Jogja seperti S Teddy D, Bob Sick Yudhita, Yunizar, Jumaldi Alfi, dan Ugo Untoro yang mirip dengan karya-karya generasi Acep Zamzam Noor di Bandung.
Jika karya-karya seniman Jogja itu memperoleh apresiasi pasar yang luar biasa, karya-karya Acep dan Iwan Koeswana seolah lenyap ditelan bumi. Karya-karya Acep dan Iwan Koeswana terlalu dini muncul ke panggung seni rupa Indonesia. Hingga kini Acep terus mengeksplorasi tema keterasingan diri berikut dimensi-dimensi paling rawan dari individualitas sebagai subyek yang harus berhadapan dengan modernitas yang nyaris melenyapkan dasar-dasar terbentuknya individualitas itu sendiri. Di situ biasanya muncul kondisi yang nyaris tak berbentuk tapi dapat diidentifikasi sebagai ambang batas: apakah individualitas itu masih dapat dibuat utuh atau tidak sama sekali.
Pada karya-karya Iwan Koeswana kita menemukan dramatisasi yang lebih gamblang dari kerawanan titik pijak individu di antara segala yang berada di luarnya. Segala bentuk nyata yang dapat dilihat dari konteks-konteks biasa, tapi diliputi teror pula. Lalu kita menemukan elaborasi dengan tingkat kerumitan yang berbeda-beda pada karya-karya Budi Gunawan, Yana WS, Jiono Sugiartono, Cecilia, Yusa Widiana, Nita Nursita, dan Tommy Faisal Alim.
KALIM (Pelbagai sumber)