TEMPO.CO, Jakarta - Hari Jazz Internasional diperingati setiap 30 April. Di setiap penjuru dunia, pecinta musik berkumpul untuk menikmati improvisasi khas jazz, genre yang identik dengan kebebasan berekspresi. Namun, tahukah Anda perjalanan jazz menuju panggung dunia ternyata melalui lika-liku sejarah yang panjang dan penuh warna.
Lahir pada akhir abad ke-19 dari komunitas Afrika-Amerika di New Orleans, Amerika Serikat, jazz adalah buah perpaduan budaya yang kaya. Irama blues dan spiritual khas Afrika berpadu harmonis dengan sentuhan melodi Eropa dan ritme dinamis Karibia. Hasilnya, lahirlah genre musik yang unik, dinamis, dan sarat improvisasi.
Seiring berjalannya waktu, jazz terus berevolusi. Pada awal abad ke-20, gaya ragtime dengan tempo cepat dan sinkopasi yang khas mulai populer. Musisi legendaris seperti Scott Joplin dan Jelly Roll Morton turut meletakkan fondasi bagi perkembangan jazz selanjutnya.
Era 1920-an ditandai dengan lahirnya gaya Chicago style yang lebih terstruktur dengan penggunaan cornet dan klarinet yang semakin dominan. Selanjutnya, pada 1930-an, swing menjadi raja. Orkestra jazz raksasa pimpinan Duke Ellington dan Count Basie berjaya menghentak dunia dengan irama yang enerjik dan asyik untuk berdansa.
Salah satu hal yang membuat jazz begitu istimewa adalah kebebasan para musisi untuk berimprovisasi. Berbeda dengan musik klasik yang kaku mengikuti partitur, jazz memberikan ruang bagi para pemain untuk mengekspresikan diri secara spontan. Improvisasi inilah yang menjadi jantung jazz, menciptakan dialog musikal yang dinamis dan tak terduga di atas panggung.
Para maestro jazz seperti Louis Armstrong, Charlie Parker, dan Miles Davis dikenal dengan kemampuan improvisasi mereka yang memukau. Mereka berani mematahkan pakem, menjelajahi harmoni baru, dan menuangkan emosi serta pengalaman mereka ke dalam melodi yang mengalir.
Jazz tidak sekadar musik hiburan. Di era perjuangan hak sipil di Amerika Serikat, jazz menjadi wadah bagi para musisi Afrika-Amerika untuk menyuarakan keresahan dan harapan mereka. Karya John Coltrane dan Charles Mingus, misalnya, sarat dengan pesan sosial dan politik yang menggugah.
Jazz juga berperan sebagai jembatan budaya. Improvisasi yang menjadi nyawa jazz menuntut para musisi untuk saling mendengarkan dan bereaksi terhadap permainan satu sama lain. Hal ini merefleksikan semangat toleransi dan kolaborasi lintas budaya.
Lahirnya Hari Jazz Internasional
Meski telah memikat pecinta musik dunia selama lebih dari satu abad, baru pada 2011 jazz menerima pengakuan global yang pantas. Berkat inisiatif Herbie Hancock, pianis jazz legendaris dan Duta Besar Kehormatan UNESCO untuk Jazz, bersama dengan Amerika Serikat dan 17 negara anggota PBB lainnya, tanggal 30 April ditetapkan sebagai Hari Jazz Internasional.
Penetapan ini menjadi tonggak penting. UNESCO memandang jazz sebagai alat pendidikan yang ampuh untuk mempromosikan dialog, toleransi, dan saling pengertian antar budaya.
Di Indonesia, jazz memiliki sejarah yang panjang dan komunitas yang aktif. Sejak era 1950-an, musisi seperti Jack Lesmana dan Waldjinah sudah mulai memperkenalkan jazz kepada masyarakat Indonesia.
Kini, festival jazz digelar di berbagai kota, seperti Jakarta International Jazz Festival dan Ubud Village Jazz Festival. Musisi jazz Indonesia seperti Indra Lesmana, Dwiki Dharmawan, dan Reza Rachman pun telah menuai prestasi internasional, membuktikan eksistensi jazz di ranah global.
FEBYANA SIAGIAN | THE QUINT
Pilihan Editor: Jadwal dan Harga Tiket Dieng Culture Festival 2024