TEMPO.CO, Bandung - Pakar hukum tata negara yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengaku agak terganggu dengan sebutan aktor. Zainal bersama kolega akademisi Feri Amsari dan Bivitri Susanti, merupakan tiga sosok yang tampil dalam film Dirty Vote besutan terbaru sutradara Dandhy Dwi Laksono. “Kata aktor itu ada bagusnya untuk tidak dipakai,” katanya di Bandung, Jumat, 23 Februari 2024.
Alasannya menurut Zainal, kata aktor mengesankan mereka berakting. Sehingga isi film yang berdurasi 1 jam 57 menit itu bisa dianggap tidak sepenuhnya benar. “Mungkin kalau (disebut) presentator lebih enak, atau apa pun, tapi saya merasa agak terganggu dengan kata aktor seakan-akan apa yang kita sampaikan itu akting,” ujarnya.
Dandhy Laksono, Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar datang ke Bandung untuk berdiskusi seputar film Dirty Vote yang mulai ditayangkan di YouTube saat masa tenang menjelang Pemilu 14 Februari 2024. Diskusi gelaran bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Lembaga Bantuan Hukum Pangayoman dan Bandung Bergerak di kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung itu melibatkan puluhan mahasiswa, dosen, dan kalangan umum.
Tiga Alasan Zainal Arifin Mochtar Terlibat di Dirty Vote
Menurut Zainal, ada tiga alasan yang membuatnya terlibat dalam film Dirty Vote. Awalnya karena diajak Dandhy yang dinilainya punya garansi idealitas dalam menyampaikan sesuatu seperti lewat karya film. Alasan kedua karena mereka ingin menampilkan sesuatu yang baru lewat film sebagai sarana yang luar biasa.
“Walaupun sebenarnya film ini mengerjakan hal yang agak relatif mirip dengan kliping,menjahit berita-berita, realitas, data, yang dikompilasi disusun ulang untuk disajikan dengan baik,” ujarnya.
Kemudian dalih yang terpenting adalah untuk menegur rezim dengan cara apa pun, di antaranya lewat film. Menurutnya ada nuansa otoritarianisme yang diputar kembali. “Apakah sama di era Suharto mungkin tidak, mungkin neo otoritarianisme,” kata Zainal. Karena itu, menurutnya, perjuangan masih berumur panjang.
Penonton Penasaran Pemilu Curang
Sementara Feri Amsari mengatakan, yang membuat film ini menarik karena penonton penasaran apakah Pemilu curang atau tidak. Sebagian besar penonton menurutnya baru sadar dan menikmati ilmu potik dan hukum tata negara.
“Misalnya terminologi politik gentong babi yang disampaikan Mbak Bibip (Bivitri), selama ini sudah dikerjakan dengan politik ini atas nama misi sosial yang kemudian kita sadari semua itu didekatkan dengan tanggal Pemilu,” kata dosen dan pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Publik menyukai sikap welas asih yang kurang lebih seperti politik balas budi dalam bentuk kasar dalam perpolitikan. Feri menyebut politik gentong babi itu lewat perekrutan pegawai sipil negara, dan kenaikan gajinya, termasuk lembaga yang terkait menjelang Pemilu.
“Film ini cukup serius, membicarakan nasib kita, kesadaran politik dan apa yang terjadi jauh lebih penting,” ujarnya. Mereka tidak peduli dengan beragam fitnah setelah penayangan film. Seperti ada yang menyebut para akademisi itu sebagai artis seperti Arya Saloka juga Amanda Manopo.
Pilihan Editor: Pemain Dirty Vote Dipolisikan, Zainal Arifin Mochtar: Yang Diam Saja Dilaporkan, Hadapi Saja