2. Wiji Thukul
Wiji Thukul merupakan seorang penyair sekaligus aktivis era Orde Baru. Dia dinyatakan hilang sejak 1998 dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Widji Thukul dikenal sebagai aktivis yang lantang bersuara. Tapi dia dikambinghitamkan sebagai provokator negara. Terutama di masa 1996 hingga 1998, banyak aktivis yang ditangkap atau diculik.
Widji Thukul dianggap musuh pemerintah karena menempatkan kata-kata satir dalam karyanya. Salah satu puisinya yang dianggap menyinggung rezim Soeharto adalah Peringatan dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru. Dalam puisi ini, ia sukses menemukan kata yang tepat untuk mewakili simbol perlawanan terhadap rezim otoritarianisme. Tepatnya pada bait terakhir yang terdapat kalimat pendek berbunyi; “Hanya ada satu kata, ‘Lawan!’”
Akibatnya, sejak 1996, Widji Thukul mulai hidup nomaden dari satu daerah ke daerah lainnya. Namun hal itu tak melunturkan semangatnya untuk menulis. Salah satu puisi pro-demokrasi yang dibuatnya saat masa genting ialah berjudul Para Jenderal Marah-Marah. Dia dinyatakan hilang sejak istrinya melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraSWidji Thukul. Pria kelahiran 1963 itu jika masih hidup kini berusia 59 tahun.
3. Munir
Merupakan seorang aktivis HAM yang tewas diracun. Dia meregang nyawa dalam penerbangan ke Belanda pada 2004. Semasa hidupnya, pemilik nama lengkap Munir Said Thalib ini getol dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru.
Munir tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh anggota TNI di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan. Dia juga merupakan salah satu sosok pendiri KontraS. Munir ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM (1997-1998) dan mahasiswa korban penembakan Tragedi Semanggi (1998).
Munir meninggal pada 7 Desember 2004 setelah menenggak arsenik. Racun tersebut dicampur ke dalam minuman Munir. Pelakunya adalah Pollycarpus. Dia sempat divonis 20 tahun penjara. Namun hukumannya dikurangi menjadi 14 tahun. Pada November 2014, Polycarpus bebas bersyarat. Lalu pada 2018 lalu, pembunuh itu dinyatakan bebas murni.
4. Marsinah
Marsinah merupakan buruh yang dibunuh karena melakukan demonstrasi pada 1993. Dia sempat hilang beberapa hari pasca aksi bersama rekan buruhnya di PT Catur Putera Surya atau CPS. Perempuan itu ditemukan tewas pada 9 Mei 1993 di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur dengan luka tembak di tubuhnya. Hasil forensik menyatakan Marsinah meninggal sehari sebelumnya. Tak cuma itu, dia juga diperkosa.
Marsinah dikenal vokal menyuarakan hak buruh. Pada awal 1993, Gubernur KDh (Kepala Daerah) Tk. I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992. Edaran itu berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya. Mereka diminta memberikan kenaikan gaji pokok sebesar 20 persen. Namun banyak perusahaan yang menolak, salah satunya PT CPS.
Kemudian karyawan PT CPS mengambil langkah untuk melakukan unjuk rasa pada 3-4 Mei 1993. Mereka meminta dinaikkan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per bulan. Marsinah tergabung dalam aksi tersebut. Dia bersama rekan-rekannya memberikan 12 tuntutan, salah satunya tunjangan cuti haid. Marsinah memegang kendali aksi setelah rekannya, Yudo Prakoso, dipanggil militer atas tuduhan penghasutan mogok kerja.
Setelah aksi tersebut, rekan-rekan Marsinah di PT CPS tidak menjumpainya. Mereka mengira Marsinah sedang pulang ke kampung halamannya di Nganjuk. Dugaan mereka keliru setelah mendapat kabar Marsinah ditemukan tewas pada 9 Mei 1993.
Itulah profil Salim Kancil, Widji Thukul, Munir, dan Marsinah. Korban pelanggaran HAM yang diunggah Jefri Nichol di Instagramnya.
Pilihan Editor: Buat Cuitan Soal Polisi Ajak Konten Jefri Nichol Ditantang Ketemu di Bandung
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.