TEMPO.CO, Jakarta - Penulis Goenawan Mohamad memandang penulis Tedjabayu Sudjojono sebagai sosok tauladan gerakan prodemokrasi. "Tedjo adalah tauladan bagi gerakan prodemokrasi," katanya dalam keterangan tertulisnya pada 25 Februari 2021.
Eks tapol 1965 dan penulis buku Mutiara di Padang Ilalang, Tedjabayu Sudjojono meninggal dunia pada usia 78 tahun hari ini, Kamis, 25 Februari 2021 pukul 11.45 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Pusat. Kabar meninggalnya Tedjabayu dibenarkan oleh sang adik, Rahino Sudjojono melalui akun Facebook pribadinya. "Hari ini 25 Februari 2021 sekitar jam 11.45 WIB, kakak sulung saya Mas Tedjabayu Sudjojono telah berpulang ke haribaan Tuhan, dalam usia 78 tahun, di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan," tulis Rahino akun Facebook-nya A Rahino Sudjojono.
Sastrawan Goenawan Mohamad saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk `Menolak Pembusukan Filsafat` di kawasan Cikini, Jakarta, 13 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Tedjabayu ikut tergabung dalam Kominitas Utan Kayu. Menurut Goenawan, Tedjabayu meninggal diduga terpapar Covid-19. "Bagi yg belum kenal, izinkan saya memperkenalkannya," kata Goenawan.
Tedjabayu baru menerbitkan buku pada akhir 2020 berjudul Mutiara di Tengah Ilalang. "Di sana (buku itu) almarhum menceritakan pengalamannya sebagai tapol dalam beberapa penjara Orde Baru — sebuah dokumen sejarah dari tangan pertama, tentang dirinya dan, lebih panjang lagi, tentang kawan-kawannya senasib," kata Goenawan.
Baca: Goenawan Mohamad: Sapardi Djoko Damono Wafat karena Sakit
Bagi Goenawan, buku itu sangat memukau karena mengisahkan berbagai kepahitan tanpa kebencian. Tedjabayu ditangkap ketika ia mahasiswa anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang terkait PKI, pada pertengahan 1960-an. Tedjabayu juga seorang putra tokoh seni rupa modern Indonesia, S. Soedjojono dan Mia Bustam, yang juga seorang perupa. "Soedjojono pernah dikenal sebagai pelukis Kiri yang sangat berpengaruh," kata Goenawan Mohamad.
"Tedjabayu kami kenal dalam gerakan prodemokrasi menentang kediktatoran Orde Baru. Wadah yang tampil ke publik gerakan kami adalah Institusi Studi Arus Informasi (ISAI), Institut Studi Arus Informasi, berpusat di Jalan Utan Kayu 68-H," katanya.
Kegiatan ISAI yang utama adalah menerobos dan melawan sensor dan disinformasi yang dipaksakan Orde Baru. Sebagian besar kerja Goenawan dan timnya berlangsung klandestin. "Mas Tedjabayu seorang anggota Utan Kayu yang paling siap dengan kerja 'bawah tanah'. Dia memperkenalkan sistem encryption dalam komunikasi internet, hingga tidak bisa dibuka intel. Dia bagian dari Team Blok M, yang bekerja rahasia utk pelbagai penerbitan gelap," kata Goenawan.
Tedjabayu adalah anggota tim yang penuh dedikasi. Di tangannya, tak pernah ada tugas yang terbengkelai. "Ia kagum kepada mereka yang menjalankan tugas dengan berani dan ikhlas, atau dalam kata-katanya 'beyond the call of duty'," kata Goenawan.
Menurut Goenawan, Tedjabayu dibesarkan dalam tradisi Kiri. Tedjabayu bukan seorang ideolog yang mudah memamerkan jargon revolusi. Dia bahkan bisa sangat kritis kepada PKI dan pimpinannya. "Ia cocok dengan pemikiran progresif yang digerakkan sikap ethis: empati kepada yang dibungkam dan dihina. Ia warga sejati gerakan kami," kataya.
"Seperti pada Ging Ginanjar almarhum, anggota gerakan yg juga meninggalkan kami lebih dulu, tidak ada dari dia kehendak menonjolkan jasa. Saya terpaksa melanggar 'aturan' bersama untuk tak bercerita tentang masa bawah tanah itu, karena saya kehilangan satu tauladan. Tedjo adalah tauladan bagi gerakan prodemokrasi," katanya.