TEMPO Interaktif, Jakarta: Sebentar lagi Ubud, Bali, akan lebih ramai. Penulis dari 30 negara akan hadir di sana. Mereka mengikuti sebuah acara sastra tahunan yang akan kembali digelar: Ubud Writers & Reader Festival (UWRF). Acara itu berlangsung pada 14-19 Oktober mendatang.
Para penulis itu datang dari Indonesia, Australia, Austria, Burma, Kanada, Cina, Mesir, Hong Kong, Hungaria, India, Yordania, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Nigeria, Palestina, Singapura, Thailand, Timor Leste, Turki, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris.
Baca Juga:
Panitia pun telah siap menerima kehadiran mereka. "Malah sudah ada penulis yang datang ke Bali," ujar penggagas UWRF, Janet De Neefe, kemarin.
Beberapa penulis yang bakal hadir sudah memiliki nama tenar. Misalnya Alexis Wright dari Australia, yang novelnya, Carpentaria, mendapat Franklin Award pada 2007. Ada juga Faith Adiele, penulis Nigeria yang tinggal di Norwegia, yang karyanya Meeting Faith: An Inward Odyssey diganjar dengan Beyond Margins Award.
Adapun dari Indonesia, menurut De Neefe, akan hadir antara lain Ayu Utami dan Andrea Hirata.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, UWRF akan terdiri atas lima jenis kegiatan, yakni workshop penulisan, peluncuran buku, workshop budaya, workshop anak-anak, serta forum yang mempertemukan kalangan penulis dan penerbit buku. Tambahannya adalah sejumlah event khusus yang mempertemukan sastra dengan berbagai media kesenian, seperti drama, pembacaan puisi, sampai tradisi kuliner.
Termasuk dalam bagian ini adalah acara khusus untuk mengenang 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai penggagas "Renaissance" di Indonesia melalui novel, literatur, dan berbagai karya lainnya.
Peserta UWRF yang ingin lebih jauh mengenal penulis novel Layar Terkembang itu akan diberi kesempatan mengunjungi padepokan STA di Toya Bungkah, Kintamani, dan akan dipandu khusus oleh putri STA, Tamalia Alisjahbana.
Tahun ini seluruh kegiatan dibungkus dengan tema "Tri Hita Karana", yang berarti keselarasan antara Tuhan, manusia, dan alam. Menurut Janet, sejak UWRF yang kedua pada 2005, pihaknya sengaja mengambil filosofi Bali sebagai acuan untuk menentukan tema.
Tahun lalu, misalnya, temanya adalah "Skala-Niskala" atau realitas yang tampak dan tidak tampak. Berturut-turut sebelumnya adalah "Antar Bhuwana" (keselarasan dunia kecil dan dunia besar) pada 2005, dan "Desa Kala Patra" (tempat, waktu, identitas) pada 2006.
Wanita asal Australia yang telah menikah dengan bangsawan dari Ubud itu menyatakan pemilihan tema dimaksudkan agar orang luar lebih tertarik memahami Bali. Selain itu, untuk mendialogkan pemikiran orang Bali dengan berbagai fenomena global yang sedang menjadi tren dalam dunia sastra. "Ternyata bagi mereka sangat menarik," ia menegaskan.
Sejumlah acara dalam UWRF bisa diikuti secara gratis oleh para pengunjung, misalnya acara workshop untuk anak-anak. Tapi sebagian besar harus membayar tiket yang berkisar Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu bagi turis asing. "Itu cukup murah dibanding uang makan-minum mereka di sini," kata Janet.
Sedangkan bagi warga Indonesia, apalagi yang berstatus pelajar, harganya jauh lebih murah, berkisar Rp 20 ribu sampai Rp 100 ribu. Pihaknya memang menerapkan subsidi silang bagi warga Indonesia agar dapat turut serta memetik manfaat dari acara ini.
Rofiqi Hasan