TEMPO Interaktif, Jakarta: Sastrawan Hamsad Rangkuti, 65 tahun, menghabiskan akhir Ramadan di Bangkok. Kerajaan Thailand mengundang dia ke sana untuk menerima penghargaan sastra SEA Write Award. Ini penghargaan sastra tahunan dari kerajaan Thailand yang diberikan kepada pengarang Asia Tenggara.
Putri Maha Vhakri Sirindhorn menyerahkan penghargaan kepada Hamsad dan delapan pegiat sastra lainnya dalam sebuah upacara di Bangkok, 30 September lalu. Hamsad mendapatkan penghargaan itu karena buku kumpulan cerpennya, Bibir dalam Pispot.
Baca Juga:
Selain Hamsad, kali ini penghargaan diberikan kepada Mohammad Bin Pengiran Haji Abd Rahman (Brunei Darussalam), Sin Touch (Kamboja), Othong Kham-Insou (Laos), Hatta Azad Khan (Malaysia), Elmer Alindogan Ordonez (Filipina), Stella Kon (Singapura), Watchara Satjasarrasin (Thailand), dan Nguyen Ngoc Tu (Vietnam).
Hamsad menambah daftar pengarang Indonesia yang memperoleh penghargaan itu. Sejak 1978, sudah ada 30 orang yang menerima penghargaan itu, antara lain Goenawan Mohamad (1981), Umar Kayam (1987), A.A. Navis (1992), dan Suparto Brata untuk novel Saksi Mata pada 2007.
Dia tidak sepakat dengan seniman yang menyebutkan penghargaan itu sebagai arisan. "Saya emosi mendengar omongan itu. Saya bilang, jangan kauremehkan ini. Arisan ini harus ada setoran, yaitu karya. Kau tidak masuk arisan kalau tidak ada setoran. Ke-30 orang itu semua punya karya," tuturnya ketika dihubungi Tempo saat ia berada di Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Hamsad bersama istrinya, Nurwindasari, dan putri bungsu Anggi Mauli Rangkuti berangkat ke Bangkok pada 25 September lalu. Istri ikut untuk jaga-jaga bila Hamsad sakit. Putrinya ikut untuk tugas khusus: penerjemah. "Saya tidak bisa berbahasa Inggris," kata Hamsad lewat telepon dari Tenggarong, Kutai Kartanegara.
Dua menit dipakai Hamsad untuk menyampaikan terima kasih dan harapannya akan perkembangan dunia sastra. Putrinya, Anggi, menerjemahkan ke bahasa Inggris. Wartawan setempat pun menanyai Hamsad. "Tapi yang diwawancara justru putri saya, yang menjawab pertanyaan soal saya dalam bahasa Inggris," ujar Hamsad sambil tertawa.
Susunan acara yang disodorkan panitia pada 26-30 September lumayan padat. "Hanya hari pertama yang kosong. Itu pun karena saya sampai malam di sana."
Hari selanjutnya, dia diajak jalan-jalan ke sejumlah museum, obyek wisata dan sejarah. "Saya jadi tidak bisa ke mana-mana," tuturnya. Maksudnya, tidak bisa jalan-jalan selain tempat-tempat yang dijadwalkan panitia.
Pada 1 Oktober bertepatan dengan Lebaran Idul Fitri, ia balik ke Jakarta. Beberapa hari kemudian, ia terbang ke Tenggarong, Kutai Kartanegara. Ia mengisi lokakarya menulis cerpen untuk para pegiat sastra di sana.
Ia juga memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari bahan sejarah kerajaan Kutai. "Saya ingin menulis cerpen berlatar sejarah sini," tutur cerpenis yang belakangan banyak mengisi pelatihan menulis di berbagai daerah
Lalu, kapan waktu terbaiknya untuk menulis? "Selalu pagi, setelah salat subuh dan jalan kaki dua-tiga kilometer, saya pulang sudah segar, mandi, lalu mulai mengarang." Malam harinya, ia mematangkan tulisan itu.
Dia tetap berpegang teguh pada realisme, yang menjadi ciri khas cerpen-cerpennya. "Saya membikin apa yang pembaca suka," tutur peraih Khatulistiwa Literary Award pada 2003 itu. Ia mengaku tidak hendak memuaskan diri sendiri "maupun berakrobat kata-kata".
Ibnu Rusydi