TEMPO Interaktif, Jakarta: Dendangan soal hidup dan hari kiamat mengudara dari mulut seorang pria berkulit gelap. Mengenakan pakaian muslim hitam, pria itu, Rafly, 42 tahun, berdendang tentang kekuasaan Allah yang Mahakuasa. Tak lama kemudian, Dwiki Darmawan masuk panggung dan memainkan piano. Dendang suara Rafly dan permainan piano Dwiki berpadu mengisi ruang rungu.
Selama kurang-lebih dua jam, Rafly dan Dwiki tampil di Teater Salihara, Jakarta, pada Sabtu malam lalu. Mereka berkolaborasi dalam acara bertajuk "Teumeumeung", yang berarti jam session. Pentas musik ini merupakan penutup rangkaian acara Ramadan yang bertema "Seni dan Islam" yang diadakan Salihara sejak 12 September lalu. Pada rangkaian acara perdana di Salihara ini, juga telah diadakan pemutaran film dan diskusi.
Sesuai dengan tajuknya, "Teumeumeung", penampilan Dwiki dan Rafly malam itu lebih menonjolkan unsur improvisasi dan kebebasan ala jazz. Tidak ada pakem yang harus ditaati keduanya, layaknya jam session. Improvisasi dan spontanitas diwarnai Dwiki dengan mengikutkan entakan kaki yang memberi ketukan. Kesan santai juga dipertunjukkan keduanya dengan tidak sungkan minum di atas panggung.
Sejatinya, Dwiki dan Rafly sudah lama membina hubungan. Bencana alam tsunami Aceh pada Desember 2004 yang menyatukan keduanya. Mereka berkenalan beberapa minggu setelah tsunami pada acara amal guna menghibur para pengungsi di Seuneubok, Seulemum. Mereka juga bertemu pada acara Jazz for Aceh di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tahun lalu, Dwiki menjadi produser untuk album Rafly bersama grup Kande berjudul Meukondroe.
Agaknya, interaksi itulah yang membentuk pola komunikasi di antara keduanya. Goyangan badan Rafly dan Dwiki yang santai dan seirama menandakan kekompakan mereka yang memang pernah terbentuk. "Lepas saja. Bebas. Yang penting komunikasi terbentuk (lewat nada)," ujar Rafly.
Mereka membawakan delapan lagu yang semuanya bernapaskan Islami dan bertema zikir atau pujian pada sang Pencipta, dalam bahasa Aceh, di antaranya Shalawat, Nurul Qolbi, Moekoendroe, Aneuk Yatim, dan Istighfar "Jazz hanya sebagai media. Sebenarnya semua berzikir pada satu getaran. Tinggal kita mau ikut dalam ritmenya," ujar Rafly.
Perpaduan jazz dan ucapan syukur menggema malam itu. Rafly, yang berdendang bebas tanpa harus berada di depan mikrofon, dan Dwiki, yang memainkan nada-nada bebas bahkan hingga memukul-mukul senar piano, mewakili unsur jazz. Sementara itu, pujian dan ungkapan rasa syukur atas hidup yang didendangkan Rafly menjadi oasis iman.
"Saya mengagumi ornamentasi vokal Rafly yang khas Aceh," ujar Dwiki soal tandemnya itu. Karakter vokal yang merupakan campuran melayu, sedikit ciri India, dan Timur Tengah, kata Dwiki, menjadi warna unik tersendiri.
Tito Sianipar