TEMPO.CO, Jakarta -Almarhum Darmanto Jatman, sastrawan, budayawan Semarang memberi kenangan yang membekas bagi para sastrawan Indonesia yang mengenalnya. Menurut mereka, almarhum Darmanto adalah penyair yang unik dan merdeka.
Baca: Budayawan Darmanto Jatman Dimakamkan di Undip
Sastrawan Sumatera Utara, Damiri Mahmud mengingat perkenalannya dengan Darmanto pada 1970-an. Saat itu Darmanto bersama sahabatnya Sapardi Djoko Damono berkunjung ke Universitas Sumatera Utara. Damiri mengatakan mereka saat itu menjajaki kemungkinan sastrawan masuk sekolah dan universitas.
“Dia orang yang serius tapi suka guyon,” ujar Damiri melalui pesan aplikasi kepada Tempo, Senin, 15 Januari 2018.
Damiri juga mengingat pada saat Darmanto menjadi pemakalah di Taman Ismail Marzuki pada 1983. Di hadapan para penyair Indonesia, dia mengatakan hal buruk tentang penyair Indonesia di hadapan mereka. “Dia bilang penyair goblok, belajar nulis dari nulis, nggak punya greget, padahal itu mungkin ada sesuatu,” ujarnya.
Damiri juga mengatakan Darmanto adalah penyair yang tak mau dikekang terutama soal bahasa.Dia merasa terjajah dengan Bahasa Indonesia dalam mencipta tulisan. Karena itu tak heran kemudian dijumpai karya puisi Darmanto bertaburan dengan banyak bahasa. “Itu hak dia yang harus dihormati, tidak mencak-mencak seperti Sutardji yang menganggapinya di Horison.”
Damiri juga mengenang keinginan sahabatnya itu di masa tua.”Dia bilang mau duduk-duduk di kursi goyang sambil baca injil dan puisi-puisi. Itu ungkapan serius yang mengharukan,” kata penulis puisi Biar Kau Temukan Dalam Puisi ini.
Kenangan indah tentang almarhum Darmanto juga diingat oleh sastrawan Eka Budianta.Dia pernah mengajak menginap almarhum di Nusadua, Bali. Kebetulan Eka mendapatkan dua kamar promo saat grand opening sebuah hotel baru. “Dia menikmati banget. Darmanto itu penyair multibahasa. Pikirannya sangat bebas, Bisa lari, terbang, merayap, menyelam bahkan menembus tanah.”
Karena itu Darmanto bisa menulis puisi dengan leluasa dan sambung menyambung dengan bahasa Jawa, Inggris, Indonesia, Belanda dan Mandarin. “Darmanto bisa menjadi lambang penyair Indonesia yang tak pernah merasa berdosa dan selalu tampak merdeka.”
Menurut Eka, bagi Darmanto petualangan hidup dan formalitas berjalan seiring sama baiknya. Tak ada yang salah dan tak terbebani saat memuji maupun memaki,kesedihan dan kebanggaan bagi Darmanto sama saja. Itu terasa kalau dia bercerita tentang puterinya, mendiang Intan Naomi yang muncul sebagai penulis berbakat.
Darmanto Jatman, kata Eka, adalah orang yang paling pandai menyelesaikan persoalan pribadi dengan caranya sendiri.”Itu yang paling saya kagumi - tidak baper. Tetap gembira dan kaya substansi.”
Sastrawan Sapardi Djoko Damono pernah menjenguknya beberapa tahun lalu sejak Darmanto mengalami stroke pada 2007. Saat itu dia sedang ada jadwal mengajar di Universitas Diponegoro. Lama tak bersua, Sapardi pun datang ke rumahnya.
“Dia seperti mau bicara banyak, keluarnya ya pakai macam-macam bahasa tapi nggak jelas,” ujarnya. Saat pulang, Darmanto pun mengantarnya hingga pintu gerbang. Sapardi mengatakan akan datang lagi suatu ketika. “Tapi saya itu tidak tegaan kalau lihat teman sakit.”
Sapardi bersahabat dengan Darmanto sejak muda saat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Sapardi sering mampir ke rumah Darmanto. Ayah Darmanto orang berada, dia juga punya pabrik susu dan peternakan sapi perah. “Kalau saya nggak punya duit, datang aja ke rumah dia.
Darmanto Jatman tutup usia pada Sabtu, 13 Januari 2018 pada usia 75 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Komplek pemakaman Undip, Tembalang, Semarang tadi pagi. Sebelumnya almarhum menderita stroke sejak lama dan sejak 2016 ini diketahui mengidap kanker kandung kemih. Selain sebagai sastrawan, budayawan, Darmanto juga mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang.