TEMPO.CO, Kupang - Mendekatlah ke tanahku
Kau akan terus merasakan
Denyut moyangku Helong
He dan Lo yang artinya tanah ini tak dijual
….
Baca juga:
Baris-baris puisi mengalir dari perempuan. Tangannya bergerak ke kanan, ke kiri, atas dan bawah. Suaranya naik-turun, terkadang dengan intonasi cepat, mengekspresikan isi puisi tersebut. Siang itu, Sabtu, 7 Oktober 2017, Mezra E. Pellondou, membaca puisi Lai Kopan, dalam acara peresmian Kampung Literasi Lai Kopan SMP Negeri 16 Kupang. “Lai Kopan adalah raja kami,” kata sastrawan yang dikenal sebagai penggerak literasi ini.
Menilik sejarah, Lai Kopan adalah raja pertama Kerajaan Helong, yang memerintah Kota Kupang sebelum Portugis datang ke Nusa Tenggara Timur. Nama Kupang berasal dari nama Lai Kopan itu. Kopan, karena bias pengucapan oleh masyarakat, kemudian menjadi Kupang. “Akhirnya tiga raja muncul dari Helong/ Lai Kopan sang raja utama/ Lissin-Lai Bissi penguasa Buni Baun/ Laiskodat penguasa ujung tanjung…”
Mezra adalah salah satu penampil dalam acara itu. Pembaca puisi lainnya, antara lain, Silvia Yoram, siswa-siswa SMP Negeri 16, siswa SMP St. Yoseph Kupang, dan lain-lain. Tak hanya berpuisi, mereka juga menyanyi, menari dan mementaskan drama. Sejumlah pejabat turut hadir dalam acara itu, seperti Kepala Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur Valentina L Tanate, pejabat Dinas Pendidikan Kupang, serta sejumlah seniman NTT seperti Felix Nesi dan AN Wibisana.
Kepala SMP Negeri 16 Kupang, Beny Mauko, mengatakan kegiatan Kampung Literasi itu berlangsung selama tiga bulan. Isinya adalah pelatihan menulis cerpen dan puisi. Ada 40 siswa yang mengikuti kegiatan yang bekerjasama dengan Uma Kreatif Inspirasi Mezra (UKIM) pimpinan Mezra E. Pellondou. “Hasilnya nanti dibukukan,” ujar Beny.
Ia menargetkan buku itu bisa terbit dan diluncurkan pada Desember 2017 di sekolah tersebut. Penerbitan buku itu bekerjasama dengan Penerbit Imaji, Jakarta. Adapun pelatihan akan berlangsung tiap hari Sabtu. Beny mengatakan akan melakukan upaya apa pun agar anak didiknya itu terus maju dan berkembang.
Setelah pembukaan yang berlangsung hingga jelang siang, acara dilanjutkan dengan kelas pertama. Sebanyak 40 siswa sekolah itu pun tekun mengikuti kelas tersebut dengan materi pertama adalah membuat kerangka dan alur menulis cerpen. Mereka sangat antusias. Mendengar, menyimak, bertanya, dan mengerjakan latihan secara spontan. Beberapa dari mereka juga kembali membaca cerpen dan puisi di sana.
Penyair Felix K. Nesi pun ikut membaca puisi di kelas itu. Maka mengalirlah puisi Felix berjudul Sapi di Ladang Kakek yang pernah dimuat di Koran Tempo bulan lalu.
Sapi telah merusak pagar ladang kakek.
Lima jantan tak cucuk hidung
mau kenyang tak mau rimbanya.
Hilang pisang lengkang singkong, meski
mantra di pagar itu pernah bunuh tentara Jepang.
MUSTAFA ISMAIL