TEMPO.CO, Jakarta - Dua buku anak Indonesia karya penulis Felicia Nayoan Siregar mengikuti Imagine Children’s Festival (Festival Imajinasi Anak-anak) di Kota London pada 9-19 Februari 2017. Berikut liputan yang dikirim oleh Bambang Kencana, seorang penulis yang tinggal di London, yang telah dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan, Sabtu, 25 Februari 2017.
Sambil mengangkat mainan durian kecil dari kayu, Felicia Nayoan Siregar bertanya kepada sekitar 30 anak di ruang Sunley Pavilion di Royal Festival Hall, pusat kesenian dan kebudayaan utama Inggris di tepian Sungai Thames, London. “Buah apakah ini?” ujarnya. Seorang anak menjawab, “Water melon (semangka).” “Bukan,” kata Felicia. Dan, ketika baru akan menjelaskan, anak lainnya berteriak, “Durian!” James, anak laki-laki keturunan Malaysia yang tinggal di London, tahu karena pernah melihatnya langsung di kampung halaman orang tuanya.
Namun bagi anak-anak lain yang menikmati penuturan cerita (story telling) Si Pirok ke Kota, jelas pengertian durian belum masuk ke dalam memori mereka. Maka Felicia menjanjikan, “Seusai penuturan cerita ini, kalian bisa melihat isi buah berduri ini dan kalau mau bisa juga mencium baunya.”
Ahad, 12 Februari lalu siang itu, Felicia sedang menuturkan cerita dari dua bukunya, Si Pirok ke Kota dan Komodo Mau Main Musik, sebagai bagian dari festival tahunan anak Imagine, yang digelar Southbank Centre–pengelola Royal Festival Hall--pada musim liburan tengah semester anak sekolah di Inggris, 9-19 Februari. Menampilkan berbagai acara, baik itu puisi, musik, tarian, maupun penuturan cerita, Imagine Festival juga ingin menghadirkan keragaman budaya dunia di London.
Dan, untuk pertama kalinya, buku anak karya Indonesia terpilih untuk ikut meramaikan kegiatan ini. “Saya tahu Felicia mengelola grup gamelan, menulis buku yang indah, Si Pirok ke Kota dan Komodo Mau Main Musik. Saya pikir ini akan amat baik untuk penuturan cerita yang interaktif. Di sini juga diikutkan musik gamelan. Jadi cocok sekali,” kata Dr Sophie Ransby, yang menjabat Gamelan Manager Southbank, sekaligus pengundang penuturan Si Pirok ke Kota dan Komodo Mau Main Musik ke Imagine Children’s Festival 2017.
Kesempatan itu tidak hanya digunakan Felicia untuk memperkenalkan kedua bukunya, tapi juga berbagai unsur kebudayaan Indonesia lainnya. Di latar belakang, misalnya, dipajang kain batik Jawa dan ulos Batak. Sedangkan di meja terlihat tenun Flores menjadi taplaknya. Beberapa buah-buahan Indonesia dan alat musik, seperti suling bambu, sasando, dan angklung, yang menjadi bagian dari cerita, juga dibawa ke tempat pertunjukan, sehingga anak-anak bukan hanya mendengarnya, tapi juga mengalaminya langsung.
Si Pirok ke Kota, yang diterbitkan bersama Atase Pendidikan KBRI London dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, bercerita tentang seekor anak orang utan yang bernama Pirok masuk ke dalam keranjang buah seorang anak bernama Antar. Dia kemudian terbawa ke kota tempat tinggal Antar, yang belakangan kaget, tapi mengembalikan Pirok ke hutan tempat tinggalnya. Dalam cerita itu disebut antara lain pisang, mangga, rambutan, serta durian, dan, seusai penuturan cerita, anak-anak bisa langsung melihat buah-buahan tersebut, memegang, lalu mencium baunya.
Sedangkan buku Komodo Mau Main Musik--dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, yang diterbitkan Perwakilan Tetap RI untuk UNESCO di Paris--mengisahkan Komodo yang ingin main musik, tapi moncongnya terlalu besar, sehingga tidak bisa meniup suling. Kukunya juga terlalu tajam, sehingga dia tidak bisa main sasando. Lalu, badannya pun terlalu besar, yang membuatnya sulit untuk berdiri lama bermain angklung. Komodo sedih, tapi akhirnya dia bisa juga main musik: ketika tidak sengaja ekornya memukul gong dan dia pun senang karena bisa bermain alat musik.
Seusai pertunjukan, anak-anak secara bergantian memukul gong, bermain angklung, atau memetik senar sasando kecil. Kegiatan seperti itulah yang diharapkan Martin O’Donnel, seorang kepala sekolah yang membawa kedua anaknya, Ilana dan Xander. “Saya memilih acara ini karena interaktif dan memang tingkat interaksinya bagus,” kata O’Donnel, yang membeli kedua buku karya Felicia dan meminta tanda tangannya. Dia kemudian membandingkan dengan storytelling dari Finlandia yang mereka tonton sehari sebelumnya, yang menurutnya tidak cukup interaktif, sehingga anaknya menjadi cepat bosan. “Ini tadi Anda bisa lihat mereka berdua bertahan duduk sampai penuturan selesai,” kata O’Donnel.
Cara Felicia dalam penuturan cerita memang bukan sekadar mengisahkan bukunya, melainkan seperti mengajak anak-anak ke Indonesia--persisnya Kalimantan dan Pulau Komodo--dicampur dengan iringan musik gamelan dan efek suara hujan lebat, gemuruh guntur, aliran sungai kecil, suara lembu, dan tentu suara orangutan. “Selain bercerita tentang satwa endemik di Indonesia, seperti orangutan dan komodo, saya ingin memperkenalkan unsur budaya Indonesia lainnya, seperti musik, makanan, juga buah-buahan, dan berusaha tidak menggurui,” tutur Felicia, yang juga mengelola festival kebudayaan Indonesia tahunan berjudul Indonesia Kontemporer (lihat www.artiuk.com).
Bagi Sandra, yang menikah dengan pria Inggris, penuturan cerita tentang orang utan dan komodo tepat untuk mengenalkan budaya Indonesia kepada kedua putrinya, Jade dan Zara. “Bagus dan edukatif. Anak-anak saya suka orang utan dan dinosaurus. Di buku tentang dinosaurus disebut juga komodo. Jadi mereka senang dengan cerita ini,” kata Sandra. Itulah sebabnya dia memilih Si Pirok ke Kota di antara berbagai acara yang ditawarkan di Imagine Festival, yang menurut pihak pengelola dihadiri sekitar 1.000 anak per hari pada akhir pekan sejak Jumat hingga Ahad.
Kedua buku karya Felicia memang bisa memiliki berbagai tujuan. Bagi anak-anak Indonesia ataupun anak campuran yang tinggal di Inggris, karyanya menjadi semacam kenangan sekaligus upaya melatih bahasa Indonesia di tengah-tengah pergaulan sehari-hari di rumah dan sekolah yang menggunakan bahasa Inggris. “Kedua anak saya, walaupun mereka sudah dewasa dan remaja, tetap saja senang dengan anak orang utan kecil Si Pirok dan membuat mereka jadi ingat Indonesia,” kata Sandra.
Jelas pula bahwa tujuan memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia melekat di benak Felicia, yang bekerja paruh waktu sebagai guru bahasa Indonesia di London. Gagasan untuk mengenalkan Indonesia itu pula yang membuat Felicia memilih satwa endemik Indonesia sebagai tokoh dalam cerita-ceritanya. “Anak-anak, termasuk anak-anak di Inggris, sangat suka binatang. Memperkenalkan Indonesia kepada anak-anak lewat binatang khasnya adalah cara yang paling efektif,” kata Felicia.
Felicia juga merasa perlu membawa pesan lingkungan, meski harus berhati-hati. “Terlalu sarat pesan bisa membawa risiko ceritanya menjadi membosankan. Jadi prinsipnya tetap harus menarik, jenaka, dengan gambar yang bagus, namun membawa pesan yang halus,” kata Felicia. Lewat Si Pirok ke Kota, misalnya, dia ingin menekankan kembali bahwa tempat orang utan adalah di hutan, sehingga Antar dengan senang hati mengembalikan Si Pirok ke hutan tempat tinggalnya walau tersasar di kota.
Felicia merasa beruntung bisa bertemu dengan ilustrator Astri Sefrina van Eenbergen, yang sempat berdomisili di London setelah menyelesaikan studi master rancangan visual di University of Birmingham dan kini pindah ke Montreal.
Keikutsertaan Felicia di Imagine Festival sekaligus memungkinkan pula Si Pirok ke Kota dan Komodo Mau Main Musik dijual bersama karya-karya penulis anak Inggris lainnya. Dengan harga £10 per buku, buku karya Felicia baru terjual 19 eksemplar pada Ahad, 12 Februari lalu. Bagaimanapun, kata Felicia, pintunya sudah terbuka. *
Bambang Kencana, penulis, tinggal di London