TEMPO.CO, Malang - Penyanyi lawas bernostalgia di Museum Musik Indonesia (MMI), Jalan Nusakambangan Kota Malang, Selasa, 7 Februari 2016. Yayuk Suseni, Dina Mariana, dan
Sandro Tobing mengenang sejumlah album yang direkam dalam piringan hitam dan pita kaset yang masih terawat.
"Terharu, piringan hitam saya hilang saat pindah rumah," kata Dina. Penyanyi yang memulai karier sebagai penyanyi cilik ini tak menyangka piringan hitam yang direkam 1973 masih tersimpan di MMI. Piringan hitam itu disimpan rapi dan dapat diputar dengan kualitas suara yang cukup baik.
"Foto cover ini dilakukan di Malaysia," kata Dina sambil menunjuk sampul album piringan hitam. Dia bahkan membeli pakaian dan sepatu di Malaysia untuk sesi pemotretan itu. Selain untuk pemotretan sampul album, saat itu, dia tengah melakukan sesi pemotretan untuk majalah di Malaysia.
Sebagai kenang-kenangan, dia menandatangani piringan hitam dan pita kaset album miliknya. Yayuk juga mengaku bangga karena sejumlah karya musiknya diapresiasi di MMI. Dia berharap sejumlah album musik miliknya bisa dikenang luas oleh masyarakat penikmat musik Indonesia.
"Ada sejumlah album lagi akan saya sumbangkan," katanya. Koleksi MMI tergolong lengkap, bahkan ada piringan hitam yang pertama kali direkam Lokananta pada 1965 dan piringan hitam dari luar negeri rekaman 1923.
Baca Juga:
Produser musik asal Malaysia, Datin Seri Sina Ghazy, mengaku mengagumi MMI. Menurut dia, di Malaysia tak ada museum musik yang koleksinya selengkap MMI, serta dikelola dan dirawat serius. Karena itu, dia akan mengajak penyanyi Malaysia berkunjung dan belajar dari MMI.
"Bagus MMI. Terharu. Di sana tidak seperti ini," katanya. Dia akan menjadikan MMI sebagai contoh pengelolaan museum musik di Malaysia. Produser yang juga pelaku bisnis properti dan spa ini akan saling bertukar informasi. Termasuk akan memberikan koleksi mereka ke MMI.
"Kami serumpun, banyak artis yang dulu juga rekaman di Indonesia," katanya. Datin juga akan mengajak sejumlah artis Indonesia, seperti Dina Mariana dan Yayuk Suseno, tampil di Malaysia. Lagu-lagu mereka, katanya, sempat dikenal warga Malaysia.
Ketua MMI Hengki Herwanto menjelaskan, MMI memiliki koleksi 21 ribu jenis barang. Sekitar 80 persen di antaranya berupa piringan hitam, pita kaset, dan cakram padat. Selebihnya berupa majalah, koran, instrumen musik, serta peralatan rekaman dan pemutar lagu klasik.
"Selama enam bulan sudah ada 14 ribu lagu yang didigitalisasi dari 180 ribu judul," katanya. Lagu-lagu lawas itu bisa didengarkan langsung saat berkunjung ke MMI. Namun alasan hak cipta lagu tersebut tak bisa diunduh dan dibagi secara online.
Setiap tahun, total sebanyak seribu orang yang berkunjung. Para pengunjung berasal dari sejumlah kota besar di Jawa. Mereka datang untuk sekadar melihat koleksi atau melakukan penelitian.
Bahkan, sejumlah mahasiswa datang untuk mencari data dan melakukan penelitian. Mulai mahasiswa jurusan desain grafis, sejarah, marketing, hingga budaya datang untuk menyusun skripsi. "Ada yang membuat film dokumenter sampai mencari sumber data soal musik," katanya.
MMI berdiri sejak setahun lalu. Awalnya bernama Galeri Malang Bernyanyi yang berdiri sejak 8 Agustus 2009. Kumpulan kaset, poster, pin, piringan hitam, sampai foto-foto musisi Indonesia melengkapi koleksi. Tak hanya koleksi musik dari dalam negeri, sejumlah rekaman musik klasik dan country dari luar negeri juga tersedia.
EKO WIDIANTO