TEMPO.CO, Jakarta - Penyair Eka Budianta, Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, Gol A. Gong dan sejumlah penyair hadir dan membaca puisi dalam acara Refleksi Gempa Aceh di Boulevard Coffee & Resto, Apartemen The Boulevard, Jalan H. Fachruddin No. 5 Tanah Abang (Samping Hotel Millenium), Jakarta Pusat, Jumat 20 Januari 2017 malam. Sebelum baca puisi, acara itu ditandai dengan peluncuran buku puisi gempa Aceh karya sekitar 150 penyair, seniman dan masyarakat Nusantara berjudul 6,5 SR Luka Pidie Jaya.
Baca juga: Buku Almanak Musik Indonesia, Ini Resensinya
Tak hanya dari Jakarta dan sekitarnya, ada pula penyair yang datang dari Tanjungpinang (Rida K. Liamsi) dan Banjarmasin (Zulfaisal Putera). Adapun dari Jabotabek hadir antara lain Ahmadun Yosi Herfanda, Eka Budianta, Kurnia Effendi, Fikar W. Eda, J. Kamal Farza, Ace Sumanta, Siwi Widjajanti, Edrida Pulungan, Edi Prambuane, Tora Kundera, dan lain-lain. “Kehadiran saya ini semacam membayar utang. Beberapa bulan lalu saya berjanji untuk hadir saat acara sastra di Aceh, tapi tiba-tiba berhalangan,” ujar Zulfaisal dalam siaran pers yang diterima Tempo, Senin, 23 Januari 2017.
Peluncuran ditandai dengan penyerahan buku puisi itu oleh penyusun dan editor kepada sejumlah tokoh yakni Kepala Perwakilan Aceh Badri Ismail, Muhammad Nazar (mantan Wakil Gubernur Aceh), Munawar Ibrahim (Kepala Bappeda Pidie Jaya), Ifdal Kasim (Mantan Ketua Komnas HAM), Teuku Nausa (pengusaha Aceh di Jakarta), dan tiga penyair yakni Ahmadun Yosi Herfanda, Rida K. Liamsi, dan Zulfaisal Putera.
Koordinator acara, yang juga penyusun buku ini, Willy Ana, menjelaskan buku setebal 246 halaman ini berisi karya 152 penyair dan masyarakat umum, termasuk dari Malaysia. Selain nama-nama di atas, ada D. Kemalawati, Din Saja, Fakhrunnas MA Jabbar, Handry TM, Jumari HS, Gol A. Gong, Nelson Dino (Malaysia), Sihar Ramses Simatupang, Endang Supriadi, Syarifuddin Arifin, Alizar Tanjung, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa, Teja Alhabd, Teuku Dadek, Mezra E Pellondou, dan lain-lain.
“Respon para penyair sangat luar biasa terhadap kegiatan ini,” ujar Willy Ana. Prediksi awal buku itu paling tebal 180 halaman. Tapi, dalam perjalanan, tebal buku itu sudah mencapai 246 halaman. “Ini apresiasi dan tanda simpati yang luar biasa dari masyarakat Indonesia terhadap Aceh,” kata penulis buku puisi Tabot: Aku Bengkulu itu.
Bahkan, menurut penyair asal Bengkulu ini, para penyair Nusantara itu tak hanya menulis puisi, melainkan juga ikut serta gotong royong untuk membiayai penerbitan buku dengan cara membeli buku tersebut sesuai kemampuan mereka. Selain peluncuran buku, acara itu akan diisi dengan baca puisi, testimoni gempa, lelang buku untuk korban gempa. Testimoni dan refleksi gempa disampaikan oleh Kepala Bappeda Pidie Jaya Munawar Ibrahim, Muhammad Nazar dan Ifdal Kasim.
Willy Ana mengatakan selain donasi yang terkumpul dalam acara itu, keuntungan dari penjualan buku akan disampaikan kepada korban gempa dan kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan gempa tersebut. “Kami berencana untuk datang ke sekolah-sekolah di lokasi gempa untuk menghibur anak-anak yang trauma dengan berpuisi, baik dengan mengajak mereka membaca puisi maupun menulis puisi,” tutur Willy. * Kelik