TEMPO.CO, Jakarta - Seiring dengan dentam drum dan rebana, sesosok tubuh berkostum merah menyeruak di antara sembilan penari laki-laki. Ia mengentak dengan gerak tari Sunda dan jaipong. Sementara itu, para lelaki menebarkan gerak beragam. Ada yang melakukan gerak silat, balet, gerak tarian Jawa Timuran, atau tarian topeng dan Sunda dalam iringan kecapi.
Tubuh-tubuh itu seperti menarik tubuh berkostum merah ini. Lalu, dalam kerumunan para penari pria yang bersimpuh, lantunan La illaha Ilallah mengiang. Makin lama main keras dan cepat. Gerakan mereka menoleh kiri-kanan. Mereka lalu mengusung tubuh merah itu yang tak lain adalah Rosmala Sari Dewi.
Baca juga:
Inilah salah satu adegan tari Living In Dance karya Rosmala yang dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Senin malam lalu. Koreografi yang ditampilkan ini satu dari dua bagian koreografi Living with Dance, yakni My Imagination. Bagian lain koreografi dari Living with Dance itu berjudul Jai Love Hop dan akan dipentaskan pada 16 Oktober mendatang.
Pentas kali ini merupakan proses kreatif Rosmala dalam dunia tari selama 24 tahun. Perempuan berusia 30 tahun itu menari sejak umur 6 tahun. Karena itu, gerak-gerak tari itu mencerminkan pengalaman hidupnya dalam menggeluti tari. Mulai dari perjuangannya meyakinkan sang ayah yang lebih suka anaknya belajar mengaji hingga berhadapan dengan kekasih yang protektif.
Ini ditunjukkan Mala, begitu ia biasa disapa, dalam gerak-gerak perlawanan yang memperlihatkan perjuangannya untuk terus menari. Lihat, misalnya, ketika ia secara perlahan seperti masuk dunia lain di antara dua tirai transparan, ia harus berhadapan dengan sosok abstrak seperti asap. Sosok berasap itu kemudian menjelma menjadi tubuh seorang pria.
Dalam gerak yang dinamis dan romantis, keduanya saling bertaut. Namun, makin lama terlihat sosok Mala yang berusaha lepas dari dekapan sang pria. Dalam gerak kerumunan, mereka berusaha menggapai tubuh Mala. Dalam ketidakberdayaan, tubuh bersalut kostum merah itu berusaha bangkit dan memunculkan kekuatan dirinya. Perempuan itu sedang berupaya menatap dunianya.
Rosmala menyiapkan koreografinya ini sejak akhir tahun lalu. Tapi sempat terhenti karena dia harus menggarap proyek kompetisi koreografi di luar negeri. Lulusan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung dan Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta ini memang membuat koreografi berbasis gerak tari Sunda dan kerap mengikuti berbagai acara di luar negeri. Tak mengherankan jika ia telah menjelajahi 35 negara untuk urusan tari ini.
Tapi, dalam koreografi ini, ia menggabungkan ilmu koreografi yang dipelajari di Indonesia dan di Amerika saat mendapat beasiswa belajar di Negeri Paman Sam itu. “Basic-nya Sunda, contemporer fusion (modern, jazz, dan floorwork) dan tradisional. Itu yang aku pelajari,” ujar pendiri Gandrung Dance Company ini.
Gerak-gerak yang dimunculkan oleh para penari pria tersebut simbol penjelajahan Mala sejak awal. Sayangnya, gerak koreografi yang muncul belum ditajamkan dalam eksplorasi lebih mendalam pengalaman dan pengetahuannya dalam bidang ini. Justru pengalaman hidupnyalah yang ditonjolkan malam itu, bukan tahapan kehidupan menarinya.
Namun satu hal yang tetap menjadi kekhasan dan sekaligus menjadi kekuatan Mala, ia tetap setia pada warna Sunda. Ia mendalami tari Sunda dan jaipong saat berkuliah di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung (dulu STSI).
Sebelumnya, ia telah mementaskan sejumlah koreografi berwarna Sunda. Salah satunya untuk tugas akhirnya di program magister Seni Urban dan Industri Budaya di Institut Kesenian Jakarta di bawah bimbingan maestro tari Sardono W. Kusumo. Untuk kebutuhan karya berjudul Tarung Batin itu, ia meneliti soal penari ronggeng dan jaipong jalanan dengan terlibat langsung menjadi pengamen bersama para penari jalanan itu.
Tahun lalu, ia juga menciptakan koreografi dari Sunda berjudul Ngalaksa tentang upacara ritual syukur bumi yang dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya Grand Indonesia, Jakarta¸ yang juga setia pada akar tradisi Sunda.
DIAN YULIASTUTI