TEMPO.CO, Jakarta -Perempuan bercukuran sangat cepak bahkan hampir plontos itu mulai menulis namanya dan menghitung ‘peruntungannya’ berdasarkan tanggal lahir, pasaran dan neptunya. Dia menulisnya dengan kapur di alas papan kayu yang tersusun seperti puzzle. Sebuah papan disenderkan bertuliskan nama hari, pasaran dan neptunya.
Setelah mendapatkan beberapa angka peruntungannya untuk panjang, lebar, luas bangunan, dia mulai mengukurnya dengan tubuhnya—dengan tangan dan kakinya. Dia lalu menandainya dengan tulisan. Tak hanya bangunan, dia pun mencari peruntungan untuk letak pagar dan sumur di sisi agak memojok di kiri depan. Perempuan yang mengenakan rok panjang merah ini terlihat sedikit berpeluh membongkar puzzle kayu dan memasang tiang-tiangnya menjadi kerangka bangunan.
Sebagai sentuhan akhir dia memasang empat lampu laser pada tiap sudut atas dan sebuah paku besi di puncak kerangka. Lampu dinyalakan dan sinar mengarah ke paku. Dia menyemprotkan zat kimia yang menampakkan sinar ini ke paku membentuk atap.
Sekilas apa yang dilakukan Agnes untuk ‘membangun’ rumah ini seperti main-main. Tapi tindakannya ini merupakan sebuah pertunjukan seni berjudul Nggon (tempat atau milik) dari pembacaan Serat Centhini di foyer Ballroom The Ritz Carlton, pada Sabtu, 27 Agustus 2016. Agnes melakukan pertunjukan ini dalam rangkaian Bazaar Art Jakarta pada pekan lalu.
Perempuan keturunan Tionghoa ini mengatakan tertarik mempelajari Serat Centhini sejak 2013. “Dalam perjalanan mempelajari itu, rupanya ada juga bagian tentang membangun rumah. Tidak hanya soal asmara,” ujarnya. Selain mempelajari Serat Centhini, dia pun mengeceknya juga di primbon.
Pertunjukannya ini menurutnya memberikan gambaran tubuh sebagai arsitektur. Bagian tubuh seperti tangan (untuk ukuran depa) dan kaki sebagai bagian dari arsitektur yang artistic. Untuk menghidupkan penampilannya, dia pun memperdengarkan bunyi kayu sedang digergaji dan kayu yang dipukul untuk mengepaskan posisinya. Penonton yang mengerumuni pertunjukan ini, tertegun melihat penampilan penerima hibah seni Yayasan Kelola 2012 ini.
Perhitungan ‘membangun’ rumah ini, kata dia, intinya tak jauh beda dengan perhitungan ala tradisi Tionghoa: fengshui atau hongshui. “Pada dasarnya perhitungan ini berisi harapan, doa, ingin mendapat keselamatan, menghindari kekurangberuntungan,” ujarnya.
Penulis ini juga pernah mendapatkan beberapa pengalaman dari orang lain untuk ‘membangun’ rumah ini. Dia mencontohkan seseorang mencoba membuat joglo, tetapi tidak memakai ukuran seperti yang dicantumkan di Serat Centhini atau primbon. “Ternyata tidak bisa jadi, nggak pas. Lalu dibongkar dan dihitung ulang dengan depa akhirnya baru jadi.”
Sebelum pertunjukan tersebut, dia pun mencoba dulu ‘membangun’ rumah tersebut untuk keperluan video dokumentasi. Uniknya, dia merasa rumah tersebut sangat kokoh dan pas untuk proporsi tubuhnya. Dia mengakui hal yang paling menantang dalam pembangunan rumah ini adalah membuat kuncian tiang-tiangnya.
Agnes sebelumnya pernah melakuan pertunjukan dari pembacaan Serat Centhini dari beberapa judul: Serat Centhini Suluk Tembangraras, Serat Centhini Bukan Cinta Semalam episode Basah Basah Basah, Bukan Cinta Satu Malam episode Gelisah Galau Merana (GeGaNa) dan Bukan Cinta Satu Malam episode Icik Icik Ahum. DIAN YULIASTUTI