TEMPO.CO, Makassar - Di atas kereta yang sedang melaju, Rangga merangkai kata-kata menjadi sebait puisi. Jari-jarinya, yang mengukir kata-kata, kadang terhenti. Ia diam. Pandangannya menatap jauh menembus kaca jendela kereta. “…Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.” Ini merupakan sepenggal puisi Rangga yang ditulis M. Aan Mansyur berjudul Batas.
“Saya punya dua peran, orang yang menulis puisi atas nama Rangga dan penyair yang dibaca karya-karyanya oleh Rangga,” ujar Aan, Ahad pagi lalu, di Katakerja—perpustakaan komunitas sekaligus ruang publik kreatif di kawasan Wesabbe, Makassar.
Meski menulis puisi atas nama Rangga, penulis Melihat Api Bekerja ini tetap mempertahankan gaya bertuturnya yang selalu bercerita. Puisi-puisi yang dituliskan untuk Rangga tetap ada jejak Chairil Anwar, lalu dipengaruhi bacaan Rangga sehingga ada aroma Pablo Neruda dan Sapardi Djoko Damono. Tapi puisi-puisi Ada Apa dengan Cinta 2 tetap Aan banget karena salah satu karya yang dibaca Rangga adalah puisi-puisi M. Aan Mansyur.
Obrolan pagi itu dimulai dengan kerja bakti bersama warga kompleks Wesabbe. Aan, yang baru saja memangkas rumput di halaman Katakerja, duduk mengeringkan keringat. Ia mengajak saya membayangkan Rangga yang sangat Aku, puisi Chairil Anwar yang menjadi ‘identitas’ AADC 1.
Lalu, seperti apa Aan memberikan ‘identitas’ puisi yang tidak Aku lagi? “Saya hanya membayangkan, setelah 14 tahun Rangga membaca buku-buku puisi lain, yang kemudian mempengaruhi gaya bertuturnya,” ungkap Aan. Adalah Fablo Neruda, Sapardi Djoko Damono dan M Aan Mansyur, serta puisi dari penyair-penyair di Amerika Serikat yang menjadi bacaan Rangga, yang kemudian mempengaruhi gaya bertuturnya.
Sebelum menuliskan puisi-puisi untuk AADC2, Aan mengaku harus melakukan riset yang mendalam, selain menonton AADC1 dan membaca skrip AADC2. Ia melakukan riset dengan membaca blog dan mengikuti Instagram tentang New York selama 6 bulan. Buku Tidak Ada New York Hari ini adalah puisi dan gambar yang berbicara. Sebab, selain 31 puisi Aan, ada foto-foto Moriza. “Buku ini dibayangkan adalah puisi-puisi dan foto-foto karya Rangga,” ujar Aan.
Tidak Ada New York Hari Ini mengawali kumpulan puisi tentang AADC2, lalu ditutup puisi berjudul Cinta. Film AADC2 sepertinya memberikan porsi puisi yang lebih besar. “Jika dulu Cinta dan Rangga dipertemukan puisi, sekarang membayangkan Rangga menulis puisi-puisi untuk menemani kesepian dan kesedihannya,” kata penyair dan penulis yang sehari-hari menjadi pustakawan Katakerja.
Membaca puisi-puisi Rangga yang ditulis Aan rasanya tak hanya kesepian, tapi juga ada rindu dan dendam. Dendam pada negaranya yang membuat Rangga harus pindah ke New York, meninggalkan cintanya. Ia juga menuliskan bagaimana ia merasa asing di tengah-tengah keramaian New York. “Seperti berusaha menolak sesuatu yang kau suka,” kata Aan.
Tingkat kesulitan menulis puisi-puisi AADC2, kata Aan, karena dia harus masuk ke karakter Rangga. Meski demikian, Aan mengaku tidak begitu terbebani. “Saya menulis seperti saya.” Bagi Aan, perasaan kesepian, jauh dari orang tua, dan suka jalan sendiri tak hanya menjadi kehidupan Rangga, tapi juga menjadi bagian dari kehidupannya.
Puisi-puisi AADC2 mulai digarap pada April 2015. Setelah peluncuran buku puisi Melihat Api Bekerja—kolaborasi puisi dan ilustrasi M. Aan Mansyur dan Muhammad Taufiq alias Emte. Mira Lesmana datang saat pameran di Edwin’s Gallery di Kemang, Jakarta, pertengahan April tahun lalu. Di tempat itulah Aan dan Mira membicarakan puisi-puisi AADC2. “Saya mungkin diajak karena Mira menyukai puisi-puisi saya,” tutur Aan.
Dari 31 puisi yang terhimpun dalam buku Tak Ada New York Hari Ini, setidaknya ada empat puisi yang akan muncul dalam film AADC2. Salah satunya berjudul Batas. Berikut ini potongan puisinya.
“Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu,
jurang antara kebodohan dan keinginanku
memilikimu sekali lagi.”
IRMAWATI