TEMPO.CO , Makassar : Makassar International Writers Festival (MIWF) setiap tahun selalu menghadirkan penulis-penulis dari bagian timur Indonesia. Tahun ini, sekitar 70 penulis mengirimkan karya mereka. Namun hanya tujuh orang yang terpilih. Mereka adalah Mardiant Sagian, Anastasia Fransiska Eka, Felix K. Nesi, Faisal Oddang, Wawan Kurniawan, Deasey Tirayoh, dan Erni Aladjai.
Kamis dua pekan lalu, mereka berkesempatan menuturkan kisah persentuhan mereka pertama kali dengan karya sastra. Penuturan tersebut mereka hadirkan dalam perhelatan Indonesian Program Voices from Eastern Indonesia, yang digelar di Chapel Fort Rotterdam.
Baca Juga:
Kisah dimulai dari Felix, yang mengatakan mulai berkenalan dengan dunia literasi saat duduk di bangku sekolah dasar. Ia bersekolah di seminari. Di sekolah itu, setiap anak akan mendapat ”hadiah” pukulan bagi mereka yang tidak membaca. ”Saat itu, saya belum menyadari pentingnya rajin membaca,” ujarnya.
Kini, lelaki asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini melanjutkan kuliah di Malang, Jawa Timur. Di kota ini, ia banyak menghabiskan waktu menjadi sastrawan jalanan. Kenangan akan masa kecil membuatnya banyak menulis soal latar daerahnya yang berpadang rumput, dan ini menjadi kekuatan tulisan Felix.
Masih dari NTT, Fransiska hadir dengan puisi-puisi tentang Ende, kota kelahiran dan tempat ia tumbuh serta berkembang, menghabiskan masa kecil hingga remajanya. Di Ende, menurut Fransiska, sastra masih dianggap milik orang biara, sehingga masyarakat menjadi tidak dekat dengan karya sastra. Namun ia tidak ingin hal-hal di sekitarnya itu berlalu begitu saja. Dorongan seperti inilah membuatnya memutuskan untuk menulis.
Seperti Fransiska, Deasey juga tak ingin melewatkan hal-hal begitu saja tanpa dituliskan. Ibu rumah tangga ini mulai menulis dari dapur, kasur, dan sumur. Sehabis melakukan pekerjaan rumah tangga, ia merasa punya waktu lowong. ”Ini sayang jika dilewatkan begitu saja,” ujar dia.
Mardiant Sagian sendiri mulai membaca dan menulis karya sastra saat duduk di sekolah menengah atas. Lelaki asal Pontianak, Kalimantan Barat, ini mulai berani menerbitkan buku berkat dorongan seorang dosen yang dekat dengannya. Sejak saat itu, ia terus menulis.
Namun cerita unik dituturkan Faisal Oddang, sosok yang tampak sangat dewasa melebihi umurnya. Di hadapan puluhan peserta, ia mengaku melahap bacaan-bacaan orang dewasa saat masih di bangku kelas 3 SD. ”Ketiadaan bacaan membuat saya melahap apa yang ada,” ujar lelaki asal Wajo, Sulawesi Selatan, ini.
Pada 2012, Faisal diundang ke MIWF sebagai “Sahabat dari Jauh”, sebuah program yang memilih lima siswa SMA untuk hadir dalam festival sastra tersebut. Acara ini membuat ia semakin dekat dengan dunia literasi. Setelah lulus SMA, ia mantap memilih melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin.
Adapun Wawan Kurniawan mengatakan cukup lama berkecimpung dengan dunia tulis-menulis karena orang-orang terdekatnya sangat dekat dengan dunia literasi. Alumnus Jurusan Psikologi Universitas Negeri Makassar ini mengatakan pendidikan formal turut membantunya melahirkan tulisan-tulisan.
Daerah yang terpencil di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah, membuat Erni tidak memiliki akses yang memadai untuk mendekatkan diri dengan dunia literasi. Perkenalannya dengan sastra dan dunia tulis-menulis terjadi saat ia bertemu dengan M. Aan Mansyur di Bibblihonic. Ia juga menjamah dunia jurnalistik melalui penerbit kampus Identitas di Universitas Hasanuddin.
Agus Noor, penulis puisi dan prosa, menilai ketujuh penulis ini merupakan fajar baru sastra Indonesia. Menurut dia, karya mereka kaya akan unsur lokalitas yang dibungkus dengan cerita yang menarik.
Sedangkan kurator MIWF, Aslan Abidin, mengatakan para penulis ini punya model pengucapan sendiri. “Gagasan mereka sudah bagus dan mampu disampaikan secara estetik,” kata dia. Dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra di UNM ini mengatakan, jika ingin meningkatkan kualitas karya sastra mereka, para penulis ini perlu menggali detail ceritanya. Walhasil, karya sastra tidak akan pernah kehilangan pembaca. |
MUHCLIS ABDUH