TEMPO.CO, Purbalingga - Tingginya angka perceraian di Purbalingga beberapa tahun terakhir ini disebabkan oleh beberapa persoalan. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Uniknya, yang menggugat cerai kebanyakan istri. Hal ini karena lapangan pekerjaan bagi perempuan terbuka lebar, sementara bagi laki-laki tidak.
Menurut catatan Kantor Kementerian Agama Purbalingga, saat ini angka perceraian di sana sudah hampir menyentuh 20 persen jumlah pernikahan. Sedangkan jumlah pernikahan di Purbalingga sebesar 10-11 ribu per tahun. Sebanyak 20 persen jumlah itu melakukan gugatan cerai, yaitu perceraian dengan inisiatif dari pihak istri.
Kenyataan di atas menggelitik para pelajar SMA Bukateja, Purbalingga, yang tergabung dalam ekstrakurikuler sinematografi Sabuk Cinema untuk menuangkannya dalam film pendek. Mereka memproduksi film bertajuk Gugat Pegat (Gugat Cerai) pada Rabu, 25 Maret 2015, dari sore hingga tengah malam.
"Riset cerita yang kami bangun berangkat dari berita-berita media massa lokal tentang tingginya angka perceraian di Purbalingga. Kami menganalisis bahwa banyaknya pabrik bulu mata dan wig tidak pernah diperhatikan efek negatifnya oleh pemangku kebijakan," tutur Laurelita Gita Prischa Maharani, penulis skenario sekaligus sutradara film itu, Kamis, 26 Maret 2015.
Laurelita menyatakan pabrik bulu mata dan plasma yang sampai ke pelosok desa itu mempekerjakan pekerja mayoritas perempuan. "Pada akhirnya, banyak kaum lelaki yang jadi pengangguran. Kami merasa fenomena ini penting untuk diangkat dalam film," kata siswi yang masih duduk di bangku kelas X tersebut.
Film ini bercerita tentang pasangan muda, Malik dan Hani. Hani bekerja di sebuah pabrik plasma rambut palsu, sementara suaminya, Malik, seorang sarjana pengangguran. Setiap hari, Malik sibuk mengantar istrinya ke tempat kerja dan menulis lamaran pekerjaan yang tak kunjung diraihnya.
Keadaan keluarga yang demikian membuat Hani tidak tahan. Apalagi Malik selalu membanggakan ijazah sarjananya, padahal gelar itu tidaklah berguna. Masalah ini pun akhirnya berpuncak pada perceraian.
Guru pembina ekstrakurikuler sinematografi, Meinur Diana Irawati, menjelaskan, seperti sebelumnya, produksi film ini tidak hanya melibatkan siswa sebagai pemain film. "Guru dan staf pun dilibatkan. Bagi kami, film selalu membawa pengalaman baru yang menyenangkan," ujar guru mata pelajaran ekonomi ini.
Ekstrakurikuler sinema di SMA Bukateja dimulai pada 2010 dan termasuk kegiatan siswa yang mampu bertahan hingga sekarang. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, produksi film tahun ini juga akan diikutsertakan pada Kompetisi Pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga 2015.
ARIS ANDRIANTO