TEMPO.CO, Yogyakarta - Pelukis Djoko Pekik akan memamerkan lukisan dan patung tahun 1964-2013 di Galeri Nasional, Jakarta, 10-17 Oktober 2013. Pameran tunggal bertajuk Jaman Edan Kesurupan digelar seiring dengan 60 tahun perjalanan seni Pekik. Semula, pameran ini rencananya bersamaan dengan peluncuran biografi Djoko Pekik. Namun, peluncuran buku ditunda hingga Februari 2014. "Ini pameran tunggal terakhir saya," kata Pekik di Dusun Sembungan, Kasihan, Bantul, Kamis sore 3 Oktober 2013.
Pekik akan memamerkan 28 lukisan dan tiga patung periode 1964-2013. Ia menyimpan sebagian karya itu di galeri rumahnya. Galeri itu berada di ruang bawah tanah. Ada pula patung memanah yang berdiri di atas galeri. Menurut Pekik, dari 28 lukisan, hanya satu karya lukis yang dibuat pada 2013. Lukisan itu berjudul Pawang Kesurupan. Karya itu menggambarkan sejumlah koruptor dalam persidangan. Dalam lukisan itu terdapat tersangka korupsi proyek stadion Hambalang, Angelina Sondakh.
Baca Juga:
Selain itu, ada juga lukisan berjudul Kali Brantas dan Bengawan Solo. Lukisan yang dibuat pada 2008 itu menggambarkan pembunuhan massal korban 1965 di Kali Brantas, Jawa Timur dan Sungai Bengawan Solo. Dalam karya itu, pekik melukis ratusan manusia di antara tank tentara, persis di bawah ban. Mata mereka bertutupkan kain. Tangan mereka saling memegang pundak satu sama lain. Pekik ada di antara lautan manusia.
Pekik adalah satu dari anggota Sanggar Bumi Tarung. Sanggar seni ini bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat. Sebagai pelukis kelompok kiri Pekik pernah kesulitan melukis karena cap eks tahanan politik. Peristiwa 1965 membuat Pekik mendekam dalam penjara hingga 1972. "Black list sebagai eks tapol berlangsung 20 tahun. Saya tak boleh berkarya," kata Pekik.
Kurator pameran, M. Dwi Maryanto dalam tulisan kuratorialnya mengatakan pameran tunggal kali ini merupakan pameran kedua Pekik di Galeri Nasional. Sebelumnya Pekik telah menggelar tujuh pameran tunggal. Menurut dia, pameran kali ini merupakan gerakan rekonsialiasi nasional melalui aktivitas seni. Melalui pameran ini, masyarakat bisa belajar lebih toleran, terbuka terhadap seniman yang pernah mendapat cap sebagai eks tahanan politik. “Pameran ini bentuk komunikasi lewat seni yang terputus puluhan tahun setelah peristiwa 1965,” kata dia.
Ia mengatakan seluruh lukisan dan patung Djoko Pekik mengilustrasikan perjalanan Pekik sebagai individu, seniman, dan warga Indonesia yang melewati perjalanan hidup yang berat. Pekik banyak melukis bercorak realis. Karyanya bertema kerakyatan. Menurut Dwi Marianto, karya yang dipamerkan Pekik terdiri dari karya lama dan baru. Sebagian karya terpajang di studionya. Sedangkan, sebagian karya lainnya dipinjam dari sejumlah kolektornya di Jakarta, Surabaya, dan Singapura.
Pekik lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah pada 1938. Ia sejak kecil terbiasa melihat kegiatan musik, gerak, dan rupa. Di desanya, Pekik banyak melihat kesenian lokal. Misalnya, tarian ledhek, karawitan pengiring ledhek, jathilan gogik dan pementasan wayang. Pekik tertarik menggambar, melukis, dan membuat benda untuk bermain di Sekolah Rakyat. Pekik ke Yogyakarta pada paruh kedua 1950-an, dan belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, sekarang Institut Seni Indonesia pada 1958-1963.
SHINTA MAHARANI