TEMPO Interaktif, Jakarta - Mulai malam ini hingga Ahad 20 November 2011 mendatang, Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, menyuguhkan pertunjukan drama Karna. Ini sebuah lakon yang menafsirkan kembali satu bagian tragis dari Bharatayudha, perang saudara antara para Kurawa dan Pandawa. Dalam lakon yang ditulis Goenawan Mohamad itu, Karna adalah tokoh yang disisihkan dari kasta-kasta yang ada.
Dalam cerita wayang, Karna adalah anak Kunthi, permaisuri dan ibu dari kelima pangeran Pandawa. Itu berarti ia bersaudara dengan para Pandawa. Lantas, dalam Bharatayudha, Karna justru berperang di pihak Kurawa. Karena itulah ia menjadi terisisih dari kasta-kasta dan membentuk sebuah identitas yang gamang. Kondisi identitas Karna itu yang kemudian ditafsir ulang dalam pertunjukan di Teater Salihara, yang kisahnya diupayakan tidak berjarak lagi dengan kehidupan manusia sekarang ini.
Lakon Karna yang dipentaskan mulai malam ini berupa empat monolog yang dibawakan oleh Sitok Srengenge (Karna), Niniek L. Karim (Kunthi), Sita Nursanti (Radha), Whani Darmawan (Parasurama), dan Putri Ayudya (Surtikanti). Monolog Karna yang disutradarai oleh Goenawan ini akan dibawakan melalui perspektif keempat tokoh itu terhadap ingatan mereka pada Karna.
Menurut asisten sutradara, Iswadi Pratama, lakon ini mengisahkan, sebelum tewas Karna sempat menulis surat kepada tiga orang, yakni gurunya, istrinya, dan ibunya (Kunthi). “Dari ketiganya, banyak cerita yang akan terkuak,” kata Iswadi. “Adapun tokoh Karna, yang diperankan Sitok Srengenge, akan muncul sebagai kepribadian Karna masa silam, sebelum ia tewas,” tambah sutradara yang pernah mementaskan drama Nostalgia Sebuah Kota di sejumlah negara itu.
Tata artistik yang dipercayakan kepada Jay Subiyakto akan memberikan sentuhan kekinian di atas pentas. Menurut Iswadi, dalam pentas yang berdurasi sekitar dua jam itu, penyertaan multimedia berupa video proyektor akan ikut memperjelas kandungan pesan dalam dialog.
Meski demikian, agar tetap terasa keklasikannya, Iswadi tetap menggunakan kostum bernuansa Jawa. “Harus ada kesinambungan antara modren dan tetap menjaga keklasikannya,” ujar Iswadi tentang pertunjukan yang harga tiketnya dibanderol Rp 150.000 dan Rp 50.000 (mahasiswa/pelajar) itu.
Yang jelas, di tangan Goenawan dan Iswadi, Karna menjadi kepribadian lain yang menemukan harkatnya dari perang saudara dan kematian yang menjemputnya. “Karna menjadi sosok nol, bukan apa-apa dan jadi apa-apa,” kata Iswadi.
Dalam setiap indentitas, Iswadi menambahkan, sangat mungkin terdapat “Karna” di dalamnya. “Karna ini adalah identitas seseorang atau bahkan juga melahirkan identitas yang absurb, yang tiada,” ujarnya menerangkan.
Karna yang dikenal sebagai tokoh antagonis itu, sesungguhnya memang memiliki watak yang kompleks. Meski dikenang sebagai sosok jahat, ia punya nilai yang tinggi sebagai seorang kstaria. “Di antara keangkuhan dan sifat gemar membanggakan diri, Karna juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan dan murah hati.”
AGUSLIA HIDAYAH