Sebanyak 133 sketsa Romo Mudji, 55 tahun, kini tengah dipamerkan di Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat. Pameran bertajuk “Garis-Garis Sketsa Perjalanan” itu berlangsung hingga 31 Maret mendatang.
Sepanjang melakukan perjalanan ke sejumlah tempat, Romo Mudji menempatkan diri sebagai peziarah. Tiap-tiap bangunan budaya ia rekam melalui garis-garis sketsa sederhana. Ketika berada di Bayon Temple, Kamboja, misalnya, ia menemukan patung tiga wajah dewa: Syiwa, Brahma, dan Wisnu. Sketsa patung itu ia gambar dengan sangat sederhana. Sedikit tak memperlihatkan detail perwajahan.
Patung yang masih mengundang perdebatan itu menarik perhatiannya. Banyak kalangan menduga patung tersebut tak lain adalah wajah Jayavarman IV, Raja Khamer Angkor. Berbagai penafsiran itu memunculkan catatan kecil yang menarik bagi Romo Mudji. Di sudut sketsa itu, ia menulis “Atau Wajah-Wajahmukah?” untuk membuka penafsiran lain. Kutipan yang jahil sekaligus kontemplatif.
Tak hanya itu. Pengajar filsafat tersebut juga memindahkan banyak sudut bangunan spiritual di Angkor Wat, Kamboja. "Seperti halnya masjid maupun gereja, candi dibangun untuk memuji dan meluhurkan Tuhan," ujarnya.
Lalu, ketika melakukan perjalanan ke Vietnam, pastor berambut gondrong itu menangkap satu obyek yang dilukiskannya berulang kali: sampan. Menurut dia, perahu kecil tersebut mengingatkannya akan Indonesia, yang memiliki banyak sungai tapi tak bisa dimanfaatkan seperti di Vietnam. "Sungai-sungai di Indonesia banyak yang kotor. Hilang kebaharian kita," katanya.
Ada lagi sketsa yang ia gambar saat menjalani sabatikal atau cuti panjang di Italia pada 2009. Selama tujuh bulan, Romo Mudji melewati hari-harinya di Roma, tempat ia dulu menimba ilmu dan meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Gregoriana, pada 1986. Sketsa-sketsa tersebut telah terangkum dalam buku Garis-garis Sketsa Mudji Sutrisno, SJ, yang dirilis Penerbit Obor, Jakarta, pada akhir Mei tahun lalu.
Yang menarik adalah sketsa di salah satu sudut ladang gandum di wilayah Auvers-sur-Oise, Prancis Selatan. Ladang itu tak lain adalah inspirasi karya seniman besar Vincent van Gogh sebelum akhirnya ia meninggal. Gogh dimakamkan pula di situ. Hingga saat ini, ladang tersebut dikonservasi. Bahkan letak tanaman gandumnya dipertahankan seperti dalam lukisan Gogh. Sketsa ladang gandum itu dihadirkan dalam empat seri oleh Romo Mudji.
Menurut kurator Candra Johan, sketsa-sketsa Romo Mudji tak menaati asas-asas perspektif secara linier yang menggunakan logika-logika jauh-dekat sebagai titik hilang pada horizon secara ketat dan akurat. "Ia malah mendekonstruksi linearitasnya untuk menghasilkan keluwesan pencitraan," ujar Candra. Sketsa-sketsa ini, tutur Candra, memang layak disimak dan diapresiasi sebagai karya seni rupa yang utuh. Dalam malam pembukaan itu, sebanyak 17 sketsa Romo Mudji laku terjual. Pembelinya adalah para pencinta dan kolektor seni rupa dari dalam serta luar negeri.
Jika kita cermati, sketsa Romo Mudji selalu memberi kesan sunyi, meski kebanyakan obyek yang dibidik adalah tempat-tempat publik. Seperti seloroh yang diucapkan Profesor Toety Heraty dalam orasi budaya saat pembukaan pameran, Kamis pekan lalu. "Saya menangkap ada tiga obyek besar yang memenuhi sketsa Romo Mudji. Salju, pohon, dan perahu. Tak ada manusia. Apakah ia membenci manusia?" ujar Toety seraya tertawa. “Tapi seorang Romo tak mungkin membenci sesama.”
Bagi Toety, sketsa-sketsa Romo Mudji boleh jadi menggambarkan dunia pada masa mendatang. Gambaran ketika manusia lenyap seperti halnya saat dunia diciptakan, benda hadir lebih dulu sebelum manusia ada.
Membubuhkan manusia, bagi Romo, adalah upaya mengobyekkannya. Ia lebih sering menggambar manusia dalam bentuk metafora. Seperti gambar buah pir yang ternyata, jika diperhatikan dengan saksama, akan merujuk pada bentuk rahim perempuan.
Menurut Romo Mudji, kesunyian dalam sketsa-sketsa itu memang disengaja. "Bagi kami, kaum rohaniwan selalu mendambakan topo ngrame. Hening dalam keramaian. Tetap kontemplatif dalam bekerja," ujarnya.
ISMI WAHID