Bersama puluhan anak sebaya, Nasywa menjadi peserta aksi melukis yang ditujukan bagi anak-anak korban bencana tsunami Jepang di pelataran Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (20/3) pagi. Mereka memang kanak-kanak. Namun, telah mampu berempati untuk korban bencana, khususnya untuk anak seusia. “Ini (gambar dan pesan yang digambarnya) untuk mereka (anak-anak korban tsunami di Jepang,” kata dia.
Bukan hanya Nasywa yang menujukan empati di selembar kertas. Kalimat senada juga ditulis Nadya, siswa kelas II Sekolah Dasar. “Teman-temanku di Jepang, jangan bersedih.” Bocah yang bertempat tinggal di Jakarta itu kebetulan sedang berlibur ke tempat neneknya di Yogyakarta. Pagi itu, sekaligus dia sempatkan ikut dalam acara Art For Children (AFC) di Taman Budaya Yogyakarta itu.
Koordinator acara, Eko Nuryono mengatakan acara itu merupakan bentuk keprihatinan terhadap bencana tsunami di Miyagi, Jepang. Awalnya, sempat terjadi perdebatan, bentuk bantuan apa yang akan diberikan. Gamang. Mau membantu dalam bentuk teknologi dan sumber daya manusia, Jepang justru dianggap lebih siap menghadapi bencana dengan teknolog canggih dibanding Indonesia. “Mau bantu dana pun,” kata dia, “Jepang lebih kaya.”
Namun, lanjut dia, bantuan tak harus berupa materi. Moral pun bisa menjadi bantuan yang sangat berarti di tengah bencana melanda. “Jadi, ya ini bentuk bantuan kami,” kata dia.
Tak hanya membuat agenda melukis dan menulis pesan, di bagian lain di pelataran Taman Budaya Yogyakarta juga digelar acara melipat seribu kertas (seni origami) asli Jepang yang juga diikuti puluhan peserta. Baik anak-anak maupun orang dewasa. Bersama “burung kertas” origami itu, gambar dan pesan yang dibuat anak-anak itu akan dikirim ke Jepang.
Menurut Eko, setalah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, pesan yang ditulis anak-anak itu akan dipajang di sebuah gedung yang menjadi “Taman Budaya” di Miyagi Jepang. Kebetulan, Makoto –seorang mahasiswa Jepang yang sedang menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada- bersedia menghubungkan dengan pihak disana. “Sekarang, tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan pengungsi di Jepang,” kata dia.
Momo Ohishi, seorang mahasiswa asal Jepang yang sedang menyelesaikan studi tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengaku ada sedikit keraguan, gambar dan pesan anak-anak itu tak sampai di Jepang. “Karena kondisi di sana belum jelas juga,” kata dia. Namun demikian, sebagai seorang warga Jepang di tetap senang dengan sumbangan moral yang diberikan anak-anak itu.
Menurut dia, origami lebih dari seni melipat kertas berbentuk burung. Namun sekaligus warisan tradisional. Secara filosofis, kata dia, burung thuru –bentuk burung origami itu- adalah sebuah pengharapan. Seratus burung origami yang dibuat dipercaya mampu menerbangkan pengharapan sesorang. “Jadi doa,” kata dia. Semoga.
Anang Zakaria