Kaung Su, pelukis kontemporer asal Burma, menyebut ruang hitam itu sebagai isyarat betapa sulitnya menebak dunia dalam pikiran manusia. "Selalu ada sisi yang tak terekspos, tapi pasti ada yang disembunyikan," ujarnya.
Lukisan Kaung Su itu adalah bagian dari karya enam pelukis Burma yang kini dipamerkan di Tanah Tho Gallery, Lodtunduh, Ubud, Bali. Dalam pameran bertajuk "Ongoing Echos #2" yang berlangsung hingga 19 Maret nanti itu, karya mereka--Aye Ko, Kaung Su, Hein Thit, Sandar Kaing, Kyu Kyu, dan Mazun Ei Phyu--disandingkan dengan karya enam pelukis Indonesia. Para pelukis itu adalah Antonius Kho, Nyoman Sujana Kenyem, Ronald Apriyan, Bahtiar Dwi Susanto, Heri Purwanto, dan Lugas Syllabus
Menurut Kaung Su, karyanya bukanlah refleksi dari masyarakat yang masih tertutup dan menindas kebebasan. Menurut dia, ruang pencarian nilai-nilai kemanusiaan selalu bersifat universal sehingga nilai-nilai yang ditunjukkannya bisa ditemui di mana pun. "Bahasa visual saya sangat individualistis," kata pelukis yang telah menekuni tema "Blackface" sejak 1993 itu.
Namun kesan kuat adanya bau perlawanan terhadap kemapanan terlihat jelas dalam karya perupa-perupa Burma. Lihatlah karya Nandar Kaing bertajuk Nude in Camera. Karya ini menggambarkan seorang wanita bertubuh supergemuk mengambil potret obyek di depannya. Ia seolah mengatakan keberanian untuk bersikap jujur tentang kondisi dirinya. Dengan kejujuran itu, kemunafikan pihak lain menjadi tampak sangat jelas seolah berada dalam satu frame kamera.
Kaing menjelaskan, karya-karya semacam itu sulit ditampilkan di negerinya. Alasannya, bisa dianggap melanggar kesopanan umum. Namun dia tetap melukisnya sebagai cerminan dari kejujuran hatinya dalam melihat sebuah masalah. Tubuh dalam karya itu adalah cerminan pertempuran ideologi serta visi politik.
Kritikus seni Arif B. Prasetyo menyatakan, kondisi Burma membuktikan bahwa globalisasi telah menembus sekat-sekat politik dan ideologi. Dalam dunia seni, seniman Burma bahkan banyak mendapat dukungan dari lembaga-lembaga internasional untuk mempromosikan mereka sehingga mengimbangi kondisi sosial yang cenderung tertutup. Selama ini mereka dikenal menonjol dalam art performing. Tapi sebenarnya mereka juga menyimpan potensi di kancah seni rupa.
Pameran bersama ini merupakan kelanjutan dari Pameran "Ongoing Echoes" yang berlangsung di Rangoon, Burma, tahun lalu. Pada Juli 2010, enam perupa Indonesia (Antonius Kho, Sujana Kenyem, Ronald Apriyan, Bahtiar Dwi Susanto, Heri Purwanto, Lugas Syllabus) melakukan lawatan budaya ke Burma. Di sana mereka menggelar pameran bersama enam perupa Burma (Aye Ko, Sandy, Kyu Kyu, Sandar Kaing, Kaung Su, Hnin Dali Aung).
Kini giliran Indonesia menjadi tuan rumah. Galeri Tanah Tho dipilih menjadi tempat penyelenggaraannya. Indonesia diwakili oleh enam seniman yang tahun lalu bertandang ke Rangoon. Sedangkan komposisi perwakilan Burma sedikit berubah: Sandy dan Hnin Dali Aung digantikan oleh Hein Thit dan Zun Ei Phyu.
Di forum ini, menurut Arif, benang merah di antara karya mereka gampang ditelisik. "Itu berarti akar kesamaan budaya tak bisa dikaburkan oleh kondisi politik di mana Indonesia sudah menjadi negara terbuka," ujar Arif. Kesamaannya adalah sebagai sesama negeri bekas jajahan, bangsa multi-etnik, dan memiliki pengalaman panjang di bawah represi rezim militer.
Antonius Kho dan Kaung Su mencerminkan problem identitas yang kerap direbakkan oleh globalisasi. Karya dua perupa itu menunjukkan betapa peliknya proses merumuskan suatu identitas yang jelas dan pasti di tengah lalu lintas global dewasa ini. Kho memvisualisasikannya dengan penampilan figur-figur tersembunyi dalam mozaik yang diwakili oleh ratusan mata.
Karya Aye Ko, Kyu Kyu, dan Ronald Apriyan menyelami kedalaman jiwa untuk menciptakan suatu "peta batin" dalam lukisan mereka. Hein Thit dan Sandar Khaing memusatkan perhatian pada wacana tubuh. Karya mereka menekankan signifikansi tubuh manusia sebagai medan pertempuran politis dan ideologis dalam masyarakat kontemporer.
Adapun karya Zun Ei Phyu dan Bahtiar Dwi Susanto merefleksikan kekuasaan citra, teknologi, dan media dalam memanipulasi persepsi tentang realitas. Adapun karya Lugas Syllabus, yang disajikan melalui humor getir, membongkar gejala-gejala kemerosotan budaya dalam masyarakat kontemporer.
Bagi Kho, pameran ini adalah sebuah oasis untuk kembali melakukan penilaian terhadap karya mereka, yakni membandingkannya dengan karya seniman dari negara lain. "Visi kita menjadi lebih terbuka karena menemukan cara pandang baru terhadap realitas," katanya.
ROFIQI HASAN