Gempa politik di Indonesia tahun 1965 rupanya sangat mempengaruhi proses berkesenian Iwan Effendi, meski ia dilahirkan pada 1979. Cerita tentang kakeknya yang dijemput aparat desa dan kemudian menghilang selama belasan tahun, sangat melekat di benaknya. “Mereka bilang bahwa kakek saya dipanggil ke kelurahan. Sepertinya hanya peristiwa sederhana, tetapi sejak itulah kakek tidak pernah kembali lagi selama 13 tahun,” tutur Iwan mengenang.
Sosok Moyo, Tupu, Baba, Haki, dan Lacuna, yang hadir di ruang pamer Tembi Contemporary, Bantul, Yogyakarta, sepanjang 14 Desember 2010 hingga 2 Januari 2011, adalah hasil dari proses pergulatan Iwan. Mereka adalah bahasa rupa Iwan tentang sejarah masa lalu. “Cerita tentang tragedi tahun 1965 tidak akan pernah hilang. Siapapun berhak memperbincangkannya,” katanya.
Pameran tunggal Iwan di Tembi Contemporary itu tidak bisa dilepaskan dari pentas teater boneka bertajuk “Mwathirika” oleh Papermoon Puppet Theatre di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, awal Desember lalu. Pentas ini menceritakan tentang keluarga Baba dan Haki pada pergolakan politik Indonesia tahun 1965.
Alkisah, suatu hari Baba lenyap diculik orang-orang bersenjata, menyusul tanda segitiga merah di rumahnya. Belakangan, Moyo dan Tupu –dua anak Baba¯juga lenyap diculik. Bahkan. Lacuna yang sering menghibur Tupu ketika kehilangan ayah dan kakaknya, juga hilang diculik orang-orang tak dikenal. “Mwathirika” adalah bahasa Swahili –sebuah suku di Afrika¯yang berarti korban.
Iwan kemudian membuat beberapa setting adegan pentas boneka ke dalam ruang pamer. Ia seperti sedang membekukan adegan di panggung dan kemudian menghadirkannya di ruang pamer. Tentu, pengunjung pameran yang tidak sempat menonton pentas boneka di Lembaga Indonesia Prancis, agak kesulitan memahaminya. Situasi seperti itu tampaknya sangat disadari Iwan. Maka, ia juga memasang rekaman video pementasan di Lembaga Indonesia Prancis tersebut.
Melalui pameran ini Iwan ingin menunjukkan proses kreatif di balik pementasan teater boneka “Mwathirika”. Itu sebanya, Iwan juga memenuhi ruang pamer dengan karya-karya dua dimensi bergaya street art. Gaya lukisan Iwan memang sangat terpengaruh oleh buku-buku dongeng, animasi, game, dan komik. Dari lukisan-lukisan itulah lalu tercipta boneka Moyo, Tupu, Baba, Haki, dan Lacuna.
Selain menunjukkan proses kreatif di balik tokoh-tokoh boneka, Iwan juga menginterpretasi pementasan “Mwathirika”. Ini terlihat dari karyanya yang berjudul Menjadi Pabrik Manusia. Karya ini terdiri atas beberapa boneka dengan kerucut merah di kepala yang dijajar di tembok, dengan latar belakang dua topeng berparuh. Dengan menambah gambar di tembok dengan teknik mural, dua topeng itu seperti menjelma menjadi dua sosok menyeramkan yang memproduksi makhluk bertopi kerucut merah.
Makhluk bertopi kerucut merah itu memang ada pada adegan pentas teater boneka “Mwathirika”. Boneka-boneka muncul dalam adegan yang menggambarkan stigmatisasi terhadap rakyat oleh penguasa saat itu. Mereka yang dicap penganut “merah” kemudian dihilangkan secara sistematis.
Dalam beberapa karyanya, Iwan juga sangat terpengaruh oleh cerita tentang Perang Dunia II. Itu sebabnya, sejumlah karya dua dimensi yang menampilkan mesin perang seperti pesawat dan tank juga dihadirkan di ruang pamer. Namun, mesin-mesin perang itu tetap saja hadir dalam gaya street art, seperti pada karyanya yang berjudul Sengatan Masa Lalu. Karya ini berupa sebuah pesawat dengan ekor melengkung seperti ekor kalajengking serta sebuah mata melotot di bawah hidung pesawat berbaling-baling itu.
Dalam katalog pameran, kurator Ade Tenesia menyatakan, praktik berkesenian seperti yang dijalani Iwan Effendi sudah jarang ditemui. Tidak banyak perupa muda yang gigih menjalani proses berkesenian seperti yang dijalani Iwan, berani mengkolaborasikan karya visual dengan genre kesenian lain.
Yang pasti, tutur Ade, dalam pameran ini kita menujumpai seorang perupa yang tak henti menjelajahi beragam medium seni. Tak henti mencari elemen visual untuk membangun dongeng-dongeng baru. “Dan saat ini ia memberikan dongeng itu untuk para korban tragedi bangsa di tahun 1965. Agar tragedi getir ini tetap tinggal di dalam ruang hati dan ingatan bangsa ini,” ujarnya.
HERU C NUGROHO