Suasana kian semarak saat belasan kelompok seni tradisional – dari topeng ireng, jathilan, hingga kuda lumping – turut dalam arak-arakan itu. Tepian jalan pun padat oleh orang-orang yang datang menonton.
Sepotong kemeriahan itu adalah bagian dari Upacara Suran Mbah Demang yang digelar masyarakt Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman, Yogyakarta, Senin malam kemarin. Seperti namanya, Suran bermakna bula Syura atau Muharam dalam penanggalan Hijriah. Lepas kirab, para pesertanya menggelar ritual salawatan di bekas rumah mbah Demang.
Kepala Desa Banyuraden, Muhammad Abdul Kadir, mengatakan tiap tahun kirab itu digelar masyarakat setempat. Selain menjadi event wisata tahunan di Kabupaten Sleman, kegiatan itu merupakan bagian dari pelestarian tradisi. “Sejak tahun 1993, dikemas sebagai agenda wisata kabupaten,” katanya.
Siapa sebenarnya Ki Demang? Masyarakat mengenalnya sebagai seorang tokoh Desa Banyuraden yang hidup di akhir abad 19. Dia bernama lengkap Ki Demang Cokromodikromo. Meninggal pada 1924. “Nama kecilnya Asra,” ujar Abdul Kadir, yang juga keturunan kelima Ki Demang.
Menurut Abdul, gelar Ki Demang untuk kakek moyangnya itu didapat setelah berhasil mengatur sistem pengairan sebuah lahan perkebunan tebu milik pemerintah kolonial Belanda. Atas jasanya itu, Asra dipekerjakan di pabrik gula dan mendapat gelar baru, Ki Demang. Dulu, nama itu biasa disandang seseorang yang bekerja sebagai mandor di perusahaan milik Belanda.
Sebagai seorang tokoh Desa, Ki Demang dikenal seorang yang dermawan. Status sebagai mandor di perusahaan Belanda dan kehidupan ekonomi yang mapan dibanding umumnya rakyat waktu itu, tak lantas membuatnya jumawa. Dia memberdayakan kehidupan ekonomi masyarakat di sekelilingnya.
Di lahan pekarangan rumahnya, misalnya, warga dibuatkan sarana berjualan gerabah yang saat itu menjadi komoditas andalan. Belakangan, tempat itu pun berkembang menjadi tempat peristirahatan bendi (kereta kuda) pada jamannya. Kondisi itu lantas mendorong perputaran ekonomi di desa.
Salah satu yang dikenang Abdul dari kakek buyutnya adalah filosofinya dalam hidup. Ki Demang selalu mengajarkan, untuk tak mudah menengadahkan tangan (meminta). “Lebih baik tangan tengkurap (memberi),” katanya.
Bagi Ki Deman, tangan di atas tentu lebih baik dari tangan di bawah. Memberi lebih baik daripada meminta. “Itu yang jarang dilakukan orang sekarang, sedekah pada orang lain,” ujarnya.
ANANG ZAKARIA