Gara-gara kucing ini, Butet Kartaredjasa, dalam peran monolognya, dibikin pusing. Sabtu dan Ahad malam pekan lalu, Butet mementaskan naskah monolog karya Putu Wijaya berjudul Kucing di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Naskah ini ditulis ulang oleh Agus Noor dan disutradarai oleh Whani Darmawan.
Kisah Kucing adalah kisah sederhana tentang seseorang yang, suatu hari, karena kesal, memukul kucing milik tetangganya. Ia merasa tak bersalah karena kucing itu mencuri dan memakan ayam rica-rica miliknya.
Baca Juga:
Ia mengira persoalan kucing itu tak berkepanjangan. Nyatanya justru merepotkan. Sejak kedatangan Pak RT, yang mendapat komplain dari pemilik kucing, yang kemudian meminta ganti ongkos perawatan kucing karena pincang kaki, si tokoh merasa dirinya diperas. Ia juga kian terpojok karena ongkos perawatan kucing itu semakin besar. Persoalan ini juga mempengaruhi hubungannya dengan istri dan anaknya.
Begitulah sebuah kisah yang sederhana dan kelihatannya remeh, tapi justru banyak membicarakan perihal kemanusiaan dan persoalannya. Awalnya, lakon Kucing memang ditulis untuk sebuah monolog oleh Putu Wijaya. Tetapi, untuk kemudahan konsumsi, naskah tersebut diubah menjadi cerpen. Agus Noor, sebagai penulis naskah, mencoba memonologkan lakon ini dari cerpen tersebut.
Tata panggung pentas monolog Butet kali ini sangat sederhana. Tak serumit monolog dengan lakon Sarimin atau Matinya Toekang Kritik. Musik yang digarap oleh Djaduk Ferianto juga tak memerlukan seperangkat instrumen yang besar. Dalam lakon ini, hanya dibutuhkan visualisasi rumah dengan beberapa perangkat alat rumah tangga yang biasa saja. Dan tak dibutuhkan teknik-teknik rumit. Bayangkan saja, dalam Sarimin, misalnya, butuh beberapa kru untuk menggerakkan wayang dan beberapa visualisasi yang njlimet. Sedangkan dalam lakon Kucing, semuanya relatif mandiri. Dengan konsep ini, lakon bisa dimainkan di mana pun tanpa ada persyaratan khusus akan pemanggungan.
”Naskah tidak bergeser. Butet memang memberi improvisasi dengan gayanya sendiri. Barangkali ia tak memerlukan naskah, tapi ide,” ujar Putu Wijaya. Ia memberikan pujian kepada Butet, yang mampu membuat naskah ini menjadi panjang dengan improvisasinya. Kemampuannya menguasai penonton tak diragukan.
Hasilnya, kembangan dan naskah inti mendapatkan porsi yang sama. Tapi, menurut penilaian Putu, itu tak menjatuhkan lakon yang sebenarnya. ”Kalau saya yang memainkan, mungkin hanya 45 menit,” kata Putu. Durasi pertunjukan malam itu kurang-lebih satu setengah jam.
Ada yang lain memang dari pertunjukan monolog Butet kali ini. Dari segi naskah saja, Butet sengaja memilih lakon yang sederhana, ringan, dan sangat realis. ”Saya ingin mengembalikan monolog sebagai permainan seni peran yang otonom,” ujar Butet dalam katalog pertunjukannya. Monolog ditempatkan sebagai sebuah proses keaktoran yang menafsir karakter dan memberi nyawa sebuah teks sastra.
Selama ini, stigma yang melekat pada Butet, sebagai raja monolog, bahwa monolog selalu kental oleh sindiran-sindiran politik dan meledek pemerintah yang berkuasa. Tak dimungkiri, sejak ia memainkan lakon Lidah Pingsan di Teater Utan Kayu, Jakarta, saat memperingati setahun pembredelan majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik, stigma itu melekat kepadanya.
Kesan sindiran yang konyol dan kenakalan Butet semacam itu memang kental melekat dalam keaktoran Butet. Dan kenakalan serupa tak banyak ditemukan dalam lakon Kucing dibandingkan dengan monolog sebelumnya, seperti Sarimin atau Matinya Toekang Kritik. Sesekali banyolan semacam itu memang keluar, tapi hanya sedikit. Jelas ini membuat mood pertunjukan naik-turun.
Dan lakon ini adalah hajat yang, setidaknya, ingin mengembalikan monolog pada ”khittah”-nya, menjunjung tinggi kekuatan seni akting. Ya, kemampuan akting Butet tak diragukan. Lihat saja ketika ia harus memainkan dua tokoh sekaligus dalam satu pemeranan. Berganti-ganti dengan sangat cepat. Dan Butet mampu menguasainya.
Yang menjadi kekhawatiran Putu adalah banyolan senakal ini jika dilakukan terus-menerus bisa berbahaya. Bukan berbahaya karena ditangkap oleh pihak berwajib. Tapi, untuk akting, hal itu bukan sesuatu yang bagus. Hanya seloroh biasa saja. ”Ini ilmu komunikasi saja. Kalau dia agak kurang disiplin, kemampuan akting yang luar biasa itu bisa sia-sia. Mudah-mudahan dia bisa memporsikan yang cukup,” ujar Putu menjelaskan.
Tetapi semua memang kembali pada pilihan. Sentilan yang menghibur. Tetapi apakah kebenaran yang disampaikan itu bisa menyenangkan semua orang atau hanya menghibur segelintir pihak? ”Butet tak perlu menjadi Koma, tak perlu menjadi Rendra. Sebaiknya ia menjadi Butet saja,” kata Putu.
ISMI WAHID