Karya video bergambar hitam putih itu membuka pementasan drama berjudul Ci, garapan terbaru Teater Payung Hitam. Semenit kemudian, tiga lelaki keluar perlahan-lahan dari dua sisi panggung.
Berjalan menyamping setapak demi setapak, tubuh mereka terbungkus plastik bening yang ujungnya terikat tali ke atas. Setelah itu, sambil menari dengan gerakan lambat, mereka keluar satu per satu dari kurungnya.
Ci atau cai, yang berarti air dalam bahasa Sunda, berkisah tentang air yang menjadi barang komoditas, tercemar, dan terhambur, karena kurangnya pengetahuan masyarakat. Seperti biasa, sutradara sekaligus penulis naskah Rahman Sabur atau akrab disapa Babeh, mengemasnya dalam pertunjukan non-verbal alias tanpa kata-kata.
Ci hanya mengandalkan gerak tubuh tiga orang pemainnya di atas panggung. Dengan tata lampu sederhana, properti yang dipakai pun hanya kantong plastik berisi sepasang ikan mas seukuran telapak kaki orang dewasa, lembaran plastik, dan tonggak-tonggak plastik berujung lancip sebagai lambang industrialisasi.
Selain suara tetesan dan gemericik air hingga bunyi air terjun dari awal hingga akhir pertunjukan, cerita mengalir lewat sketsa-sketsa. "Saya memang tak membuatnya sebagai cerita naratif," ujar Babeh.
Lakon itu digarapnya dari puisi buatannya yang ingin mengingatkan orang tentang pentingnya air. Sayangnya, tutur Babeh, hanya sedikit agama dan budaya yang mengajarkan manusia untuk memelihara dan mengutamakan keberadaan air. Termasuk memuliakan makhluk hidup penghuninya.
Adegan itu digambarkan seorang aktor yang memukul kantong plastik berisi ikan sampai bocor, hingga membuat hewan bersisik itu gelisah. Pertunjukan selama 20 menit tersebut sekaligus menutup perhelatan Festival Sunan Ambu di Gedung Kesenian Sunan Ambu di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Senin malam lalu.
ANWAR SISWADI