TEMPO Interaktif, Bandung -Sirene ambulans meraung-raung. Dari pintu belakang mobil, para perawat sibuk mengeluarkan seorang pasien dengan tubuh penuh bebat dan luka. Puluhan orang mengerumuninya. Sebagian lagi, yang sedang antre di pintu masuk, menyingkir untuk memberi jalan.
Tak lama berselang, seorang suster meminta puluhan orang agar masuk ke ruang tunggu dengan tertib. Mereka yang tak kebagian bangku memilih duduk di lantai beralas tikar dan koran. Dalam hitungan menit, ruang tengah Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, yang disulap menjadi ruang tunggu Rumah Sakit Barayaku Yasadaya itu penuh sesak.
Ratusan penonton hanya menyisakan dua lorong yang masing-masing selebar satu meter. Jalan sempit itu menjadi salah satu panggung bagi pementasan drama Sikat Sikut Sakit oleh Laskar Panggung Bandung, Jumat malam pekan lalu. Di situ, para pemain yang hilir-mudik harus melangkah hati-hati agar tak tersangkut kaki atau lutut penonton.
Teriakan tukang roti mengawali suasana hiruk-pikuk rumah sakit. Berikutnya, lewat tukang koran yang diperankan perupa Isa Perkasa. Menyusul kemudian kelompok dokter yang melintas sambil menjelaskan penyakit dan istilah medis lainnya kepada mahasiswa kedokteran di belakangnya. Pemakaian bahasa asing, seperti Arab dan Jepang, menggelitik tawa penonton.
Lalu muncul tokoh Tuan Sampoerno yang diperankan aktor teater gaek Mohamad Sunjaya, 73 tahun. Kepada seorang suster yang memapahnya, ia mengatakan harus dirawat karena asam uratnya kambuh gara-gara makan melinjo pemberian Tisna Sanjaya.
Perupa yang menjadi pasien sakit jiwa itu disebutnya juga mengidap sakit Van Gogh alias budek. Dengan bahasa Jerman dan Indonesia, penjelasan sakit telinganya karena teriris pisau juga membuat penonton terkikik.
Tisna, yang malam itu lebih banyak mengandalkan bahasa tubuh dan keahlian gambarnya, berkostum ikatan perban. Punggungnya menggendong dua kanvas berukuran sekitar setengah dan satu meter yang dibawanya ke mana-mana sambil tangannya menggambar wajah-wajah penonton dengan arang. Rumah sakit itu memang tak cuma menampung pasien yang sakit secara fisik, tapi juga psikis.
Pertunjukan itu menawarkan inovasi yang tak lazim. Dengan mengubah interior gedung, kelompok teater berusia 15 tahun tersebut membawa penonton hanyut dalam suasana rumah sakit dan menyelami segala permasalahannya. Dengan pengalaman pribadi masing-masing, misalnya, setiap penonton bahkan merasa bebas menjadi seperti pasien atau penunggu si sakit.
Interior dibuat semirip mungkin seperti di rumah sakit. Kerja keras bagian properti dan penata artistik itu tampak dari pemasangan tirai antartempat tidur pasien, meja dorong, kursi roda, atau ranjang dorong. Beberapa properti tampak harus dibuat sendiri, seperti bangku penunggu dan ranjang pasien.
Lakon karya sutradara Yusef Muldiana itu berkisah tentang kondisi rumah sakit yang hiruk-pikuk. Sebetulnya drama sepanjang dua setengah jam itu menggambarkan kondisi negeri ini yang kacau-balau, kemacetan lalu lintas, materialisme, cinta dunia, dan kekuasaan uang. Anak-anak kecil yang berseliweran di rumah sakit sambil menghafal istilah medis, misalnya, bertutur tentang hilangnya tempat bermain bagi anak-anak dan kian sempitnya ruang publik.
Karut-marut situasi itu juga membawa kita ke pertanyaan mendasar tentang istilah rumah sakit. "Apakah rumah untuk orang sakit, atau rumahnya sedang sakit," kata Sugiyati Suyatna Anirun, yang berperan sebagai Putri Kawih. Rumah sakit itu nyaris tak punya tempat lagi untuk mengurus penyakit, kecuali menjadi tempat orang-orang yang berdagang atau mencari keuntungan uang semata.
Mengusung persoalan sehari-hari di masyarakat, Yusef membalutnya dengan humor. Lucu tapi sering menyakitkan. Seorang istri, misalnya, enggan dibawa ke rumah sakit oleh suaminya karena mencemaskan biaya pengobatan yang mahal. Ia memilih mati daripada suaminya jatuh miskin. Di adegan lain, seorang suster marah-marah sambil menelepon ketika belum tuntas menjelaskan soal hipertensi.
Dari ruang tunggu, penonton kemudian diarahkan masuk ke ruang lain sesuai dengan nomor kartu yang dipegangnya. Dua ruang sayap Gedung Indonesia Menggugat itu diubah menjadi kamar perawatan pasien. Dalam dialog dokter dengan pasien, penjenguk, wartawan, dan suster, disisipkan komedi. Taburan istilah dan penjelasan penyakit, seperti meningitis, alzheimer, gigi berlubang, leukemia, dan kanker payudara, pun keluar dari para suster dan dokter.
Laskar Panggung terasa seperti sedang berkampanye sekaligus memberikan oleh-oleh tontonan berupa pengetahuan berbagai penyakit. Puncaknya, semua penghuni rumah sakit, dari tukang roti, calo antrean pasien, hingga dokter dan pasien, berubah menjadi gila. Mereka tak bisa lagi menyembuhkan pasien karena tak bisa mengobati penyakit mereka sendiri.
ANWAR SISWADI