“Kami ingin mencari lapisan budaya manusia purba, lebih bagus lagi kalau dapat rangkanya,” kata peneliti utama Balai Arkeologi Bandung Lutfi Yondri di lokasi penggalian.
Menurut Lutfi, sejauh ini penggalian sudah berhasil mengumpulkan beberapa pecahan benda sesuai zamannya. Alat serpih dan batu-batu obsidian biasa ditemukan pada manusia purba yang hidup di zaman Mesolithikum. Sedangkan pecahan gerabah menandakan manusia kuno yang hidup di era Neolitikum. “Itu berkisar 6.000 hingga 9.500 tahun yang lalu,” ujarnya.
Selain itu, tim penggalian menemukan gigi gajah purba dan tulangnya dalam ukuran kecil. Kemungkinan, kata Lutfi, gajah itu masih kecil. Temuan benda-benda tersebut diperoleh dari kedalaman mulai 10 sentimeter.
Dari temuan batuan di lokasi situs, ada pula batu andesit, yang dipastikan bukan berasal dari kawasan batuan karst atau kapur tersebut. Lutfi memperkirakan batuan tersebut diambil dari tempat lain sebagai peralatan hidup. Temuan lainnya adalah gigi ikan hiu yang dijadikan sebagai perhiasan.
Lutfi menduga, mobilitas manusia purba di Gunung Pawon saat itu sudah cukup tinggi. Untuk mendapat gigi ikan hiu, misalnya, manusia purba paling tidak harus menuju ke laut terdekat yaitu di daerah Subang. Sedangkan batuan obsidian yang seperti beling kaca, didapat dari berbagai daerah tempat asalnya, mulai Nagrek, Garut, hingga Sukabumi.
Sebelumnya pada 2004, penggalian tim tersebut menemukan rangka manusia purba dalam kondisi utuh. Temuan langka tersebut tahun ini kembali dilanjutkan pada petak sebelah temuan rangka. Tujuannya untuk mengetahui bentuk kehidupan di Goa Pawon dulu.
Lutfi percaya manusia purba di Gua Pawon dan gunung-gunung kapur lainnya di kawasan tersebut hidup berkelompok atau memiliki komunitas. Menariknya, kata dia, kemungkinan besar ada kesamaan budaya dengan manusia purba yang hidup di kawasan hutan Dago Pakar, Bandung.
Secara garis besar, tutur Lutfi, manusia purba hidup di dalam gua seperti di Pawon atau alam terbuka misalnya Dago Pakar. Alat yang dipakai keduanya pun sangat mirip. “Karena itu kemungkinan ada sisa situs bersejarah, pembangunan di dataran tinggi Bandung perlu hati-hati,” katanya.
Koordinator Kelompok Riset Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo, mengatakan, kawasan gunung karst yang berpotensi menyimpan sisa kehidupan prasejarah di kawasan Cipatat kini makin terancam. “Ada yang bilang, orang mati saja diurusin, yang masih hidup enggak,” ujarnya.
Ia menyayangkan adanya wacana seperti itu yang berkembang di kalangan penambang batu kapur di gunung-gunung sana. “Kita harus memahami, kita berasal dari mana? Itu menjadi bagian dari intelektualitas kita,” katanya. Mereka mendesak pemerintah daerah dan provinsi Jawa Barat untuk melindungi beberapa gunung sekitar Pawon agar terhindar dari pengerukan batu kapur.
ANWAR SISWADI