Sabtu malam dua pekan lalu, teater rakyat Miss Tjitjih kembali menggelar pentas lakon-lakon lawasnya. Pertunjukan itu dibuka untuk umum dan gratis. "Biasanya ada tiket masuk. Saat ini dibuka gratis setelah tahun lalu terakhir kita pentas," kata pemimpin sandiwara Miss Tjitijih saat ini, Maman Sutarman, seusai pertunjukan.
Lakon Si Manis Jembatan Ancol, yang dipentaskan malam itu, cukup membuat para penonton terhibur meski sesekali mengundang ribut sebagian anak-anak. Begitu adegan mulai seram, mereka terdiam. Apalagi saat boneka pocong tiba-tiba beraksi, banyak dari mereka ternganga. Lalu, yang tersisa hanya gemuruh suara penonton ketika pocong melesat hilang dengan cepat.
Ya, malam itu sandiwara rakyat Miss Tjitjih seperti tengah bangkit kembali. Sandiwara rakyat ini didirikan 82 tahun silam oleh Sayid Abdullah Bafagih, yang pada 1916 telah mendirikan Opera Falansia. Adapun Miss Tjitjih adalah seorang primadona sekaligus istri Abdullah.
Sejak 1928, perkumpulan Miss Tjitjih menetap di sebelah bioskop Rivoli, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mereka juga memiliki jadwal tetap mengadakan pertunjukan di Pasar Baru hingga tempat ini tutup pada 1936. Sandiwara rakyat ini juga pernah berpindah ke daerah Muara Angke, dan terakhir ke daerah Cempaka Baru hingga saat ini.
Miss Tjitjih selalu mementaskan lakon horor. Genre itu seolah telah melekat pada sandiwara rakyat tersebut. Sejumlah lakon horor yang acap mereka pentaskan antara lain Beranak Dalam Kubur, Sepatu Setan, Rambut Setan, dan Kuntilanak Warung Doyong.
Setiap pementasannya laris manis dikunjungi penonton. Dengan harga tiket Rp 200 pada 1970-an, setiap malam Minggu dan malam Senin mereka mampu mengumpulkan Rp 100-130 ribu dari tiket menonton saja. Memang, kalau hujan mengguyur, penonton biasanya sepi, apalagi pada saat digelar razia kartu tanda penduduk.
Tak dipungkiri, genre horor yang mereka usung sudah tak populer lagi. Apalagi sandiwara rakyat semacam itu sudah kalah pamor dibanding teater modern, seperti teater Koma, Mandiri, dan Tanah Air. "Kami tetap akan melakonkannya. Miss Tjitjih itu sudah identik dengan horor. Penonton selalu menanyakan itu," ujar Mang Esek, panggilan akrab Maman.
Galibnya teater rakyat lainnya, Miss Tjitjih juga menitikberatkan pertunjukan pada improvisasi. Tak ada harga mati untuk teks dialog. Segala sesuatunya berkembang dengan sendirinya di atas panggung, karena para pemain sudah matang dan memperoleh kekuatan masing-masing. Pengadeganan memang tak kalah, tapi tata panggung yang disajikan kalah jauh dibanding teater modern.
Teknik panggung yang sangat sederhana masih dipertahankan sandiwara rakyat ini. Misalnya teknik black out, mematikan lampu panggung yang hanya sekejap sebagai efek menghentikan waktu, saat adegan hantu yang berganti rupa atau menghilang. "Kami tertolong oleh set panggung. Kalau tidak ada set, pemain harus berlari sepanjang 15 meter," kata Mang Esek.
Mang Esek menyatakan keterbatasan dana menjadikan teknik panggung mereka tak bisa sekaya teater modern saat ini. Rencananya, mereka bekerja sama dengan Asosiasi Teater Jakarta Pusat (ATAP). Belum ada latihan rutin memang. Mereka akan saling tukar informasi dan pengalaman agar teater itu menjadi lebih baik.
Begitulah. Menurut Mang Esek, dulu mereka dapat mengumpulkan sekian banyak uang hanya dari penjualan tiket. Kini, setiap pertunjukan, kalau dipukul rata biasanya hanya 20 penonton dengan harga tiket Rp 10 ribu. "Kami tetap main. Mereka sudah bayar," ujarnya.
Memang mereka masih rutin pentas sebulan sekali, meski tahun ini sempat terhenti. Jika dana dari pemerintah daerah segera turun pada Juli mendatang, Miss Tjitjih telah membuat jadwal untuk menggelar pentasnya sepekan sekali. Gedung pertunjukan itu tak hanya digunakan untuk sandiwara Miss Tjitjih. Mereka juga bergantian dengan pementasan wayang orang Bharata.
Kaderisasi juga menjadi kendala mereka. Menurut Mang Esek, meski para pemain telah difasilitasi permukiman di belakang gedung pertunjukan, mereka tak lantas bisa berkonsentrasi penuh dengan teater itu. Mereka, yang berjumlah sekitar 25 orang, harus berbagi waktu dengan pekerjaan lain. Ada yang menjadi pegawai negeri, ada juga pegawai kantor. "Kalau tidak begitu, dapur kami tak mengepul," ujarnya.
Ya, Miss Tjitjih pernah menjadi besar dan begitu masyhur pada masanya. Tapi, seperti pepatah, nasib mereka kini, mati enggan hidup tak mau. Hanya orang-orang yang memang memasrahkan hidupnya untuk teater itu yang mampu menghidupkannya. "Tak bisa mungkir, kesenian tradisi makin kurang digemari," kata Mang Esek.
ISMI WAHID