Judul: Oceans
Genre: Dokumenter
Sutradara: Jacques Perrin, Jacques Cluzaud
Skenario: Jacques Perrin, Jacques Cluzaud, Francois Sarano, Stephane Durand, Laurent Debas, Laurent Gaude, Christophe Cheysson
Mari lupakan sejenak segala hiruk-pikuk metropolitan. Tengoklah sisi lain dunia yang tak kalah menakjubkan. Sebuah dunia yang menyimpan keindahan sekaligus misteri. Tempat aneka jenis ikan, lumba-lumba, paus, cumi, kepiting, dan puluhan spesies binatang laut penghuni samudra yang luasnya mencapai dua pertiga dari bumi kita. Dunia bawah laut dengan pesonanya yang tak habis tergali.
Berabad-abad sudah usaha menguak misteri bawah laut dilakukan. Dua sutradara Prancis, Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud, yang sebelumnya menggarap film dokumenter tentang serangga Microcosmos dan film dokumenter tentang burung Winged Migration, mempunyai mimpi yang sama. Hasilnya, sebuah film dokumenter bertajuk Oceans yang membuka mata kita untuk lebih memahami dunia di balik birunya samudra. Ditunjang kamera berteknologi tinggi, di film ini kita bisa menyaksikan lebih dari 80 spesies penghuni lautan.
Film berbiaya lebih dari 60 juta euro ini mengajak kita mengenal lebih dekat laut dan segala penghuninya. Sepanjang lebih-kurang seratus menit, kita diajak berenang menyusuri 50 wilayah perairan di dunia, dari California, Great Barrier Reef di Australia, Pulau Roca Partida di lepas pantai Meksiko, hingga perairan Sulawesi.
Lihatlah bagaimana ribuan ikan kecil berenang bergerombol membentuk bola raksasa, atau ratusan lumba-lumba yang berlompatan kegirangan. Tengok pula bagaimana ribuan kepiting yang berjalan berbaris bagaikan prajurit yang siap bertempur. Tak ketinggalan, puluhan ikan pari yang melayang bagaikan pesawat induk luar angkasa. Kita juga bertemu dengan berbagai spesies langka. Beberapa di antaranya memiliki penampilan fisik yang tak lazim.
Walaupun minim narasi, film hasil produksi Galatee Films, Notro Film, dan Walt Disney Studios ini mampu mengaduk-aduk perasaan penonton lewat bahasa gambar. Kita bisa tertawa ketika melihat seekor udang berkelahi dengan kepiting dengan gaya bak gladiator. Di saat lain, hati nurani kita terketuk melihat penderitaan seekor hiu yang dilempar kembali ke laut setelah sirip dan ekornya ditebas nelayan. Musik pengiring garapan Bruno Coulais semakin menambah kesan misteri, megah, dramatis, sekaligus puitis.
Tak mengherankan, seperti dua film produksi Disneynature sebelumnya, Earth dan The Crimson Wing: Mystery of the Flamingos, film ini mampu mencuri hati para penikmat film. Di negeri asalnya, Prancis, film ini menjadi film terlaris. Hanya dalam 48 jam, tercatat 105 ribu penonton menyaksikan film ini.
Selain gambar dan tata suara yang tajam, sudut pengambilan gambarnya bervariasi, dari atas, samping, dan bawah. Berkali-kali hewan-hewan laut itu diambil gambarnya secara close up. Begitu dekatnya, kita bahkan bisa melihat dengan jelas guratan-guratan yang menghiasi kulit ikan paus bungkuk. Ini berkat kamera tersembunyi dan sejumlah peralatan yang mampu merekam aktivitas hewan-hewan laut itu tanpa mengganggu mereka. Hasilnya, kita bisa mengenal hewan-hewan buas tersebut dengan lebih intim.
Ya, film ini memang digarap amat serius. Untuk persiapannya saja dibutuhkan waktu sekitar dua tahun. Pembuatannya sendiri memakan waktu kurang-lebih empat tahun. Sang sutradara, Jacques Perrin, bahkan membentuk 12 tim untuk melakukan 75 ekspedisi penyelaman ke pelbagai penjuru dunia, dari perairan tropis hingga daerah kutub yang dingin. Perrin, yang dikenal sebagai pendukung aktivis lingkungan hidup Prancis, juga mengundang ratusan ilmuwan untuk berdialog.
Film yang skenarionya dikerjakan bersama oleh Francois Mantello dan Jean-Jacques Mantello ini memang tak sekadar memanjakan mata dengan menyajikan keindahan alam bawah laut beserta isinya. Film ini juga mengetuk hati nurani mengajak kita berbuat sesuatu. Kita menjadi saksi atas “kejahatan” manusia terhadap laut.
Kita tak hanya melihat bagaimana kejinya pembantaian terhadap hiu, ikan paus, dan hewan laut lainnya. Tapi juga bagaimana ketidakbecusan kita mengelola lingkungan membuat air laut yang tadinya jernih berubah keruh dan kotor tercemar limbah. Di film ini, misalnya, kita bisa menyaksikan “kebingungan” seekor anjing laut memperhatikan sebuah benda asing di dasar laut, yang tak lain adalah sebuah troli supermarket bekas.
Tak kalah penting, film ini juga menyadarkan kita bahwa begitu banyak hewan laut, seperti halnya hewan darat, yang tak bisa lagi kita saksikan karena sudah punah. Jasad mereka kini hanya bisa kita saksikan di museum. Dan lewat visualisasi yang menakjubkan, film ini mencoba menyampaikan sebuah pesan bahwa tidak ada kata terlambat untuk kita menyelamatkan hewan-hewan lainnya yang kini juga terancam.
NUNUY NURHAYATI