Franki Raden mengaransemen ulang lagu itu dalam bentuk komposisi etnik sekaligus format orkestra: Indonesian National Orchestra (INO). Etnomusikolog yang pernah menjadi associate professor di York University, Toronto, Kanada, ini menjajalnya dengan seperangkat alat musik tradisional yang kesemuanya khas Indonesia. Sesuatu yang tak mudah dilakukan oleh 60 pemain tersebut, karena antara alat musik yang terlibat dan karakter lagu yang dimainkan memiliki tangga nada yang sangat berbeda.
"Ini tantangan saya sebagai komposer. Kita punya tradisi yang luar biasa," ujar Franki di sela gladi resik. Panggung pertunjukan di Balairung itu penuh sesak dengan alat musik etnik. Saling berderet, ada sasando, rebana, rebab, guzheng, kulintang, dijeridoo, dan sejumlah alat perkusi lainnya.
Komposisi instrumennya mirip orkestra Barat. Bagian string diwakili oleh rebab Betawi untuk menjangkau nada tinggi. Nada rendah diwakilkan oleh rebab Bali, yang dibuat khusus oleh seniman Bona Alit. Rebab ini bentuknya raksasa, dengan tinggi gagang fingering-nya sekitar 2 meter. Begitu juga alat tiup dan perkusi. Masing-masing instrumen mewakili format orkestra dasar seperti di Barat.
Persoalan mengadopsi lagu Barat dalam permainan alat musik etnik sungguh rumit. Pemain yang terlibat sebagian besar adalah maestro-maestro musik di bidangnya. Mereka tentu tak bersahabat dengan konsep musik tonal pada alat yang dikuasainya. Mereka harus memainkan lagu klasik dengan tangga nada diatonis tanpa mengubah sistem nada pada alat pentatonis.
Secara teknik memang sangat mungkin dilakukan. Tapi pemain akan sangat kesusahan untuk mempraktekkannya karena mereka harus mencari sendiri padanan nada itu, yang membuat letak penjarian menjadi tak beraturan.
Hasilnya? Tak dimungkiri, repertoar gubahan ini terdengar sangat terbata-bata. Teknik permainan yang sangat sulit menjadikan setiap kalimat melodi tak bersih dimainkan. Peran Franki sebagai konduktor menjadi sangat penting karena ia harus mengatur kapan instrumen-instrumen tersebut masuk dan mulai dimainkan. Mereka sama sekali tak memegang score. "Hanya mengingat. Metode oral mereka sangat kuat," ujar Franki.
Disadari oleh Franki, waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan konser ini hanya tiga bulan. Waktu ideal setidaknya butuh 1 tahun. Metode latihannya juga tak gampang. Dalam waktu sesingkat itu, Franki harus mendatangi satu per satu maestro masing-masing instrumen, bahkan melatihnya sendiri. Ia memberi gambaran bagaimana lagu yang akan dimainkan. Baru setelah itu ia memulai latihan menggabungkan semua instrumen dalam 12 hari terakhir. "Waktu yang sangat sempit," katanya.
Lain lagi dengan repertoar kedua. Berjudul Concerto for Indonesian National Orchestra, repertoar ini memang disuguhkan dengan warna etnik sesuai dengan karakter masing-masing instrumen. Sementara di musik Barat, satu lagu konserto digunakan untuk solo instrumen, di sini Franki menggabungkannya menjadi satu garapan besar yang disisipi oleh solo masing-masing instrumen.
Lagu dimulai dengan tabuhan beduk sebagai pembuka. Kemudian instrumen melodius menggantikan bagian itu dengan akor-akor panjang. Paduan suara dengan berbagai tingkat nada mendengungkan sebaris kalimat mantra. Lagu itu memang berkesan sangat magis. Solois Putu Sastrani Titaranti, pemilik vokal sopran, berduet dengan Anusirwan melakukan vocalizing kalimat etnik tanpa kata. Ada lagi Eni Agustien dengan instrumen guzheng, Liza Markus dengan kolintang, dan Muhammad Saat dengan suling.
Pada repertoar kedua ini, warna, karakter, dan alur komposisi lagu lebih terlihat etnik khas Indonesia. Setidaknya lagu ini lebih "terbaca" di telinga ketimbang harus mengadopsi tonalitas yang tak dikenali dalam musik etnik. Peran Franki juga lebih ringan. Ia hanya mengatur bagaimana melodi harus berganti ketika mood pemain sudah mulai menurun saat memainkan bagian itu.
Sayangnya, beberapa instrumen tak semuanya unjuk gigi. Sasando, misalnya, instrumen ini sama sekali tak berkesempatan untuk solo. Warna suaranya pun tak begitu terlihat. Bahkan antara instrumen satu dan lainnya juga minim dialog.
Mungkin itu persoalan karakter musik etnik masing-masing. Menggabungkan antara karakter Kalimantan dan Bali saja sudah susah. Inilah sebenarnya tantangan terbesar Franki sebagai seorang etnomusikolog yang mengerti betul karakter musik etnik secara mendalam sekaligus komposer yang lazimnya berkutat dengan penciptaan karya.
Ya, INO bisa jadi obsesi besar karena Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Yang jadi soal adalah jika keberagaman itu hanya dipandang sebagai tradisi, maka tak akan memberi kontribusi yang nyata dalam konteks perkembangan musik modern saat ini. Setidaknya Franki telah memperlihatkannya.
ISMI WAHID