Menurut Fikar Weda, pengatur lakon acara tersebut, konsep acara ini bentuknya mengadopsi gaya menjual obat di Aceh. Itu terlihat dari lokasi pementasan yang memilih ruang terbuka publik. “Kami ingin mengampanyekan kesenian tradisional dari Aceh pada orang-orang yang ada di sini,” katanya.
Dipilihnya ruang terbuka, tutur Fikar, sangat membantu mengenalkan kesenian dari Aceh kepada banyak orang. “Kalau acara ini digelar di gedung tertutup, pertunjukan ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja,” ujarnya menjelaskan.
Selain pembacaan puisi, acara tersebut juga menyuguhkan kesenian tradisional Aceh, seperti Tari, Didong, dan Dektek. Acara itu juga dimeriahkan oleh penampilan 50 penari dari anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah.
Fikar menyatakan, tema “Aceh Membaca Jakarta” yang diusung acara tersebut juga punya alasan. Melalui pergelaran itu mereka ingin mengkritisi pelbagai segi kehidupan di Jakarta. Fikar melihat bahwa konsep sentralisasi yang berkembang di negara ini, sebetulnya bermuara di Jakarta. ”Pusatnya ada di Jakarta, seperti kebijakan, pemerintahan, dan orang-orang dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta.”
HERRY FITRIADI