Dari koper yang dibukanya, ia mengambil selendang merah. Sehelai kain itu dulu dipakainya ketika ia dijual orang tuanya seharga 25 gulden kepada administrator pabrik gula dari Belanda: Tuan Herman Mellema. Sejak itu, Sanikem—begitu nama perempuan kembang desa di Sidoarjo itu—menjadi gundik sang administrator. Dendam kesumat kepada orang tuanya kemudian tumbuh bersama derita sebagai istri simpanan Tuan Mellema.
Begitulah drama dengan lakon Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh, yang dipentaskan di Bale Handap Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur, Bandung, Jawa Barat, pada Jumat malam lalu. Kisah dalam drama itu mengalir dengan alur mundur, dari Sanikem sebagai gadis remaja hingga menjelma menjadi Nyai Ontosoroh.
Untuk kedua kalinya, sutradara Wawan Sofwan mementaskan kisah yang pernah digarapnya pada 2007 tersebut. Saat itu pementasan sepanjang tiga jam tersebut melibatkan banyak pemain. Kali ini pementasannya hanya 90 menit dan melibatkan empat pemain saja. Mereka sebagian pernah ikut pementasan Nyai Ontosoroh sebelumnya. Misalnya Sita Nursanti, mantan penyanyi kelompok trio Rida-Sita-Dewi (RSD), yang kini dipercaya sebagai Nyai Ontosoroh.
Ada pula pemain yang berperan ganda: Agni Melati. Ia berperan sebagai anak kedua Nyai bernama Annelies sekaligus Nyai muda ketika bernama Sanikem. Lalu, Willem Bevers menjadi Tuan Mellema dan Bagus Setiawan sebagai Minke, siswa Hogere Burger School (HBS) kekasih Annelies.
Pementasan kali ini juga menawarkan versi baru drama Nyai Ontosoroh, hasil adaptasi novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Bersama penulis naskah Faiza Mardzoeki, sutradara Wawan Sofwan memulai cerita dramanya justru dari bagian terakhir novelnya. “Adaptasi novel itu sangat memungkinkan dieksplorasi untuk sebuah pertunjukan yang berbeda,” ujar Faiza, yang juga produser acara.
Dan malam itu, di atas pentas Sanikem perlahan-lahan lenyap. Perempuan desa itu menjelma menjadi sosok baru. Setelah suaminya pensiun, ia dipercaya mengendalikan perusahaan bernama Boerderij Buitenzorg. Tapi warga pribumi lebih gampang menyebutnya Ontosoroh. “Mereka memanggilku Nyai Ontosoroh," katanya dengan senyum bangga.
Dalam novelnya, Pramoedya menggambarkan Nyai sebagai perempuan yang melawan garis nasibnya sebagai seorang gundik. Ia bangkit dengan mempelajari apa saja dari pengalaman hidupnya agar tak dihina oleh siapa pun, terutama oleh pengadilan berasas hukum Eropa yang tak mengakuinya sebagai istri seorang Belanda, juga dua anak yang dilahirkannya.
Agar nasibnya tak menurun ke Annelies, Nyai menentang hukum itu habis-habisan walau akhirnya kalah. "Kita telah melawan, Nyo," kata Nyai kepada Minke, yang dipanggilnya Sinyo. "Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya...." Kalimat yang menutup pementasan itu sontak disambut tepuk riuh sekitar 200 penonton.
Menurut Wawan, tak mudah menampilkan sosok Nyai Ontosoroh secara singkat dalam pertunjukan kecil. Dalam novel Bumi Manusia, Wawan menghitung, ada lebih dari 100 adegan dengan puluhan tempat kejadian. Setelah mencari inti masalah dan tema buku selama beberapa hari di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, ia menemukan pintu masuk dan tempat yang tepat. "Harus ada penyempitan ruang peristiwa, yaitu di rumah Nyai," ujarnya.
Bale Handap Selasar Sunaryo, yang bergaya rumah joglo, dipilih menjadi panggung alami. Penata panggung cukup membangun suasana rumah dan ruangan imajiner dengan penempatan bale-bale panjang di bagian tengah serta sebuah kursi dan dua meja kecil di sisi panggung.
Sayang, suasana di rumah orang kaya pedesaan di zaman kolonial itu, yang telah tertancap kuat sejak awal, menjadi pudar setelah sorotan gambar ke layar putih sebagai latar panggung beberapa kali menampilkan interior rumah modern. Cat putihnya pun sangat kontras dengan tiang rumah joglo dan perabot, yang seluruhnya terbuat dari kayu bernuansa cokelat.
Pementasan di Bandung malam itu, dan selanjutnya di Erasmus Huis, Jakarta, pada 11 Mei ini, semacam pemanasan sebelum mereka tampil berkeliling Eropa. Menurut Faiza, Nyai Ontosoroh diundang tampil di Tropentheater Amsterdam dan Tong Tong Festival, Den Haag, pada 20-22 Mei mendatang. Setelah itu, mereka akan tampil di Antwerp, Belgia, pada 26 Mei 2010.
Tapi, sebelum bertolak ke dua negara itu pada 17 Mei nanti, mereka sepertinya harus memperbaiki tata lampu yang, dalam pementasan Jumat malam lalu, sering mati karena generator tak memadai. Berkali-kali gangguan serius itu membuat penonton kecewa berat.
l ANWAR SISWADI
Dari Happy Salma ke Sita 'RSD'
Semula sutradara Wawan Sofwan ingin kembali mengajak Happy Salma menjadi pemeran utama dalam drama Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh. Soalnya, dalam pementasan drama sebelumnya di Jakarta pada 2007, Happy berperan sebagai Nyai Ontosoroh. "Ini seperti meneruskan pekerjaan yang dulu," kata Wawan.
Tapi Happy angkat tangan. Ia terlalu sibuk menjalani kontrak syuting sinetron yang padat. Peran itu kemudian ditawarkan kepada Sita, yang juga pernah bermain dalam Nyai Ontosoroh bersama Happy. "Awalnya dia (Sita) agak shocked juga karena ini pekerjaan yang berat,” ujar Wawan. Dua hari kemudian, Sita menerima tawarannya.
Proses latihan dimulai pada Februari lalu. Saban pekan, Wawan melatih empat aktornya di Jakarta dan Bandung secara bergiliran. Sepekan sebelum pementasan, seluruh pemain berlatih intensif. Mereka juga menjalani karantina di Selasar Sunaryo.
Menurut Wawan, tak terlalu sulit melatih Sita menjadi Nyai karena ia sudah tak asing dengan dunia akting. Pertimbangan lain memilih Sita, tokoh Nyai kali ini juga perlu bersenandung. Dan suara Sita memang terdengar merdu.
Mungkin karena tegang atau menjaga hafalan teks monolog yang berselang-seling dengan dialog, akting Sita malam itu tak selincah Agni Melati. Agni cukup luwes menjadi Sanikem muda saat sedih dan tertekan, hingga berganti peran menjadi Annelies yang agak kenes.
l ANWAR SISWADI