TEMPO Interaktif, Yogyakarta - “Koran,...koran! Ada wartawan mati terbunuh. Koran,...koran!” teriak Bence penuh semangat, sembari menyeret karung berisi tumpukan koran terbitan terbaru. Hari itu Bence sengaja menambah jumlah dagangannya karena ada berita bagus. Dan, benar saja, dalam sekejap koran dagangannya ludes terjual.
Itulah cuplikan adegan pentas ketoprak berjudul Warta Nggondhol Nyawa di Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (3/4) malam. Pentas ketoprak ini terasa unik karena sebagian besar pemainnya para wartawan dari berbagai media yang bertugas di Yogyakarta. Pentas ini juga didukung sejumlah seniman ketoprak senior Yogyakarta seperti Marwoto Kawer dan Susilo Nugroho alias Den Baguse Ngarso yang malam itu memerankan Bence, si penjual koran, sekaligus sebagai penulis naskah.
Pentas kethoprak Warta Nggondhol Nyawa berkisah tentang dunia wartawan. Adegan dibuka dengan terbunuhnya wartawan Jaka Palastra oleh komplotan Raden Ayu Wentis Manis, Demang Durdanta dan Lurah Jaya Raga. Komplotan ini bersekongkol untuk melengserkan Tumenggung Darmasila, seorang jaksa yang jujur. Wartawan Jaka Palastra dibunuh karena emoh tutup mulut dan menolak iming-iming uang yang ditawarkan komplotan itu.
Tumenggung Darmasila memang akhirnya berhasil dilengserkan. Posisinya digantikan oleh Demang Durdanta. Sementara Jaya Raga naik pangkat menjadi Demang. Untuk menghilangkan jejak pembunuhan, komplotan ini mengajukan Titir dan Gobyok, sebagai pelakunya dengan imbalan uang. Titir dan Gobyok tak lain adalah petugas ronda yang pertama kali menemukan jasad Jaka Pralaya.
Kematian Jaka Pralaya mengusik ketenangan para wartawan. Dimotori Pracanda dan fotografer Wedhar Sungging, mereka gigih menelisik siapa pelaku pembunuhan terhadap Jaka Pralaya. Dalam proses investigasi yang melelahkan, mereka tak hanya menemukan data tentang pelaku pembunuhan terhadap Jaka Pralaya, namun juga menemukan data rekayasa di balik pelengseran jabatan Tumenggung Darmasila.
Komplotan di balik pembunuhan terhadap wartawan Jaka Pralaya dan pelengseran jabatan Tumenggung Darmasila tak lain adalah trio Wentis Manis, Durdanta, dan Jaya Raga. Namun, sebelum data-data penting ini diungkap di media massa, wartawan Pracanda ditemukan tewas. Kematian wartawan Pracanda ini kembali menghiasi halaman media cetak. “Koran,...koran! Ada wartawan mati terbunuh! Koran,...koran!,” teriak Bence bersemangat.
Warta Nggondhol Nyawa adalah pentas ketoprak kedua yang dimainkan oleh para wartawan, sekaligus memperingati Hari Pers Nasional. Tahun lalu, mereka mementaskan lakon Kabar Mawa Wisa. Pada dua kali pementasan ini, para wartawan mempercayakan kepada Nano Asmorodono sebagai sutradara.
Tidak gampang menangani wartawan untuk pentas ketoprak. Persoalan utamanya adalah latihan yang tak pernah bisa lengkap. “Selalu saja ada yang bolos latihan karena mendadak ada tugas. Namun saya tetap bangga karena wartawan mau mencoba bermain ketoprak. Bagi saya, kemampuan akting dan kemampuan olah vokal bukan ukuran. Yang penting wartawan mau mencoba main ketoprak. Itu sudah lebih dari cukup,” kata Nano.
Keluhan yang sama juga disampaikan pemain senior, Marwoto Kawer. “Selain latihan tak pernah lengkap, teman-teman wartawan itu selalu terlihat tidak serius saat berlatih. Banyak bercanda dan ngomong sendiri-sendiri. Tapi, herannya, pas saat pentas semalam, kok ya mereka bisa bermain bagus ya,” katanya.
Menurut Marwoto, pentas kethoprak bisa menjadi media refreshing bagi wartawan yang sehari-hari disibukkan dengan berita. “Kalau biasanya teman-teman wartawan hanya bisa mngritik lewat tulisan, kali ini mereka bisa berteriak langsung, meski hanya di atas panggung, namun tetap penting,” ujarnya.
Heru CN