TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejarawan Asvi Warman Adam menilai pelarangan pemerintah atas pemutaran film Balino merupakan sisa-sisa cara pemerintahan Orde Baru. Film itu merupakan fiksi yang berlatar belakang sejarah yang lumrah diproduksi dan diputar di negara lain.
"Itu sisa-sisa orde baru," katanya sebelum menonton film Balibo, di Taman Ismail Marzuki, Senin (7/12) malam.
Film Balibo, kata dia, menyajikan fakta sejarah lima wartawan Australia yang tewas di Balibo. Menurut dia, tidak semua isi film merupakan fakta sejarah, sehingga film itu tidak serta merta menyajikan kebenaran.
Selama ini TNI membantah bahwa lima wartawan Australia tewas di bantai TNI. Asvi berpendapat bagaimana lima orang asing itu tewas harus didiskusikan. "Semua bisa saja terjadi dalam suasana perang," ujarnya.
Film itu memiliki nilai positif bagi masyarakat Indonesia. Alasannya selama ini fakta sejarah terkait pertempuran di Balibo selalu di tutupi. Padahal seharusnya masyarakat disajikan fakta sejarah baik dari sudut pandang TNI maupun yang lain. "Ini memiliki nilai positif bagi masyarakat, namun masyarakat tidak harus menelan mentah-mentah," katanya.
Larangan pemerintah dinilai memiliki kepentingan untuk melindungi kepentingan sekelompak masyarakat. Selain itu pemerintah berkepentingan untuk menstabilkan pemerintahan yang saat ini menghadapi banyak kritik. "Pemerintah tidak ingin persoakan Timor Timur ikut menambah beban," ujarnya.
Dia menyayangkan sikap TNI yang menganggap institusi itu dikambinghotamkan lewat film Balibo. "Apa memang begitu? Film ini menyajikan fakta sejarah tapi tidak berarti semua bagian dalam film salah atau keliru,"ujarnya.
KURNIASIH BUDI