TEMPO.CO, Jakarta -Kebebasan artistik secara global masih mendapatkan tantangan serius. Hak para seniman di seluruh dunia untuk mengekspresikan karyanya masih berada di bawah ancaman. Pelapor khusus bidang hak kebudayaan Persatuan Bangsa Bangsa, Farida Shaheed menyebutkan bidang seni film merupakan bidang yang paling banyak mendapatkan ancaman dan pelanggaran hak asasi.
“Ada 840 contoh penyensoran dalam seni rupa, teater, musik dan film, tapi film terbanyak,” ujarnya dalam sesi diskusi bertema Memastikan Kebebasan ARtistik: Sebuah Tantangan Kebijakan Publik pada acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, di Jakarta Convention Center, Kamis, 4 Mei 2017.
Dari data pelanggarakan kebebasan artistic tahun lalu disebutkan terjadi pada semua bidang seni seperti tari, film, sastra, multi platform, musik, teater, dan seni rupa. Hal ini terjadi pada kebebasan artistic yang mengkritisi ideologi, politik, agama dan kepercayaan, kebudayaan dan preferensi sosial. Pelakunya adalah perusahaan, politisi, kelompok agama dan kelompok lain. Pelanggaran yang dilakukan seperti menyensor, mengancam, menyerang, menuntut, memenjarakan, menculik, menganiaya bahkan membunuh.
Data yang dibeberkan terjadi tiga pembunuhan terhadap musisi, dua penculikan musis dan seniman teater, 84 pemenjaraan seniman rupa, teater, musisi, sastrawan, dan seniman film. Tercatat pula 16 penyerangan pada seniman rupa dan musisi, 40 ancaman dan penganiayaan terbanyak pada musisi, 43 penuntutan terbanyak pada musisi dan seniman teater, 840 penyensoran pada seni rupa, teater, musik, film dan sastra.
Shaheed menyebutkan pelanggaran hak artistic ini bertentangan dengan 16 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memastikan akses publik terhadap informasi dan melindungan kebebasan dasar . Serta merujuk pada Konvensi PBB 2005 yang merupakan kesepakatan internasional untuk menerapkan poin tujuan di atas dan memberi dorongan untuk mempromosikan serta melindungi kebebasan artistic sebagai pilar mendasar dari kebebasan berekspresi.
Hadir juga sebagai pembicara pada diskusi itu antara lain Sara Whyatt (Direktur PEN Internasional), Anupama Sekhar (Direktur Departemen Budaya Yayasan Asia Eropa-ASEF), Khadija El Bennaoui (Direktur Seni dan penasehat budaya, Arts Move Afrika) serta Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI).
Bennaoui ikut menjelaskan kondisi para seniman di Afrika yang terancam kemudian mereka berpindah ke Eropa untuk keamanan mereka. Sementara itu Sara juga menyebutkan butuh keterlibatan semua pihak untuk mewujudkan kebebasan artistic. “Banyak hal yang harus dilakukan untuk itu,” ujarnya. Sara dan Shaheed juga menyebutkan ancaman yang lebih massif saat ini adalah model pelanggaran yang dilakukan oleh para ekstrimis dan kelompok agama dan preferensi sosial. “Mereka menghancurkan karya para seniman dan situs budaya.” Butuh peningkatan pendidikan dan literasi untuk ikut membebaskan hak para seniman ini.
Hilmar Farid mengatakan pemerintah Indonesia menjamin kebebasan para seniman berkreasi dan berkarya. Situasinya kini jauh lebih baik dibandingkan saat rezim Orde Baru. Ia mengakui masih ada masalah dalam penerapannya seperti soal sensor. “Baru saja kami sahkan Undang-undang Pemajuan Kebudayaan yang intinya untuk melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan melakukan pembinaan terhadap seni budaya,” ujarnya. DIAN YULIASTUTI