Jurnalis AAP dan Reuters untuk Australia, Roger East (diperankan Anthony La Paglia), dalam perjalanannya menuju kota kecil Balibo bersama Jose Ramos Horta (Oscar Isaac), bertubi-tubi menemui kejadian mencengangkan. Perjalanan itu mereka tempuh untuk memenuhi keingintahuan East terhadap lima jurnalis Australia yang hilang di wilayah itu.
Selama 100 menit, dalam Balibo Five, kita dihadapkan pada konflik, perdebatan fakta, dan eskalasi politik saat Indonesia masuk ke Timor Leste. Film karya sutradara Australia, Roger Connolly, Kamis pekan lalu ditayangkan di Teater Utan Kayu. Tadinya film ini dijadwalkan diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest), tapi urung lantaran tak lolos sensor Lembaga Sensor Film (LSF).
Alur cerita film ini sedikit membingungkan karena tak urut, maju-mundur. Membutuhkan konsentrasi untuk membingkai adegan demi adegan. Adegan berawal dari pengakuan Juliana (Bea Viegas) yang memberikan kesaksiannya. Pada 1975, Juliana adalah bocah berumur 9 tahun yang dipindahkan ke luar Kota Dili oleh ayahnya. Di tengah perjalanan, ia melihat tentara Indonesia berhasil masuk Kota Dili. Mobilnya dihentikan dan semua orang digiring keluar menuju jalanan.
Warga sipil, wanita dan anak-anak dipisahkan. Kaum lelaki tetap disandera dan merunduk dengan tangan terlipat di atas kepala. Raung, jerit, dan suara tembakan mendominasi. Wajah-wajah mereka gentar, panik, dan pucat. Masih jelas tergambar di ingatan Juliana peristiwa pada 7 Desember 1975 itu. Saat itulah Juliana kecil melihat East tertangkap dan dieksekusi.
Latar waktu kemudian mundur ke September 1975. Jose Ramos Horta, komandan pasukan Fretilin, datang menemui East di Darwin, Australia. East adalah veteran militer angkatan darat yang diberhentikan karena masalah psikologi. Horta membujuk East agar mau menjadi kepala kantor berita di wilayah koloni Portugis tersebut, tapi tak berhasil.
Ia pergi dari Darwin dengan meninggalkan dokumen data lima wartawan Australia yang tak diketahui keberadaannya di wilayah itu. Mereka adalah Greg Shackleton, 27 tahun, dan perekam suara Tony Steward (21), Gary Cunningham (27), Malcom Rennie (28), serta Brian Peters (29). Karena keingintahuan itulah kemudian East memutuskan pergi.
Hotel Turismo di Dili menjadi persinggahan East. Ia kembali bertemu dengan Horta dan berencana menuju Balibo, tempat kelima wartawan Australia itu hilang. Perjalanan ditempuh sekitar 12 jam dengan berjalan kaki karena akses menuju kota kecil itu ditutup. Balibo berjarak 10 kilometer dari Timor Barat, wilayah Indonesia. Terletak di Distrik Bobonaro dan berbatasan langsung dengan Laut Savu.
Berselang-seling adegan menampilkan setting waktu berbeda, perjalanan Roger lalu berganti saat kelima jurnalis di tempat yang sama. Digambarkan Horta menangis tersedu ketika melihat mayat bergelimpangan di tanah lapang karena pembantaian. Tak jelas dari pihak mana mereka. Digambarkan pula kepanikan mereka berdua kala susah payah menghindari peluru dari atas helikopter.
Tibalah East di sebuah rumah kosong. Ia melihat darah bermuncratan di mana-mana. Abu sisa bakaran dipegangnya. Dinding-dinding berlubang oleh hantaman peluru.
Setting lalu mundur ke Oktober 1975. Lima jurnalis bersama pasukan Fretilin keluar-masuk dari satu desa ke desa lainnya. Menggambarkan suasana, lalu merekamnya dalam gulungan pita pada kamera. Bermalam di sebuah desa, mereka bertemu dengan seorang tua yang memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan tak terduga.
16 Oktober 1975 adalah hari nahas bagi kelima jurnalis itu. Mereka tak sadar dengan maut yang akan menjemput. Pagi buta, fajar baru tampak. Cahaya belum cukup untuk kamera mereka. Riuh kepanikan muncul kala itu. Semua pasukan Fretilin yang berada di belakang Benteng Portugis, tempat pertahanan mereka, berlari menjauh.
Namun, tidak bagi jurnalis itu. Mereka mendekat ke benteng, mengintip, lalu merekamnya dengan kamera. Tegang. Antara tugas mencari informasi eksklusif dan nekat menantang maut. Mereka terkepung, tembakan mengarah membabi buta. Ujung pelarian adalah ketika kelima jurnalis itu bersembunyi di sebuah rumah kosong. Napas menderu, detak jantung tak menentu.
Di luar, pasukan Indonesia telah mengepung. Yakin dengan profesi mereka, salah seorang jurnalis keluar untuk bernegosiasi. Namun, yang terjadi justru penembakan. Tak ada dialog dan semuanya dilakukan dengan sangat tak terduga. Kelimanya tewas. Saat itulah tubuh mereka dibakar bersama pita rekaman hasil peliputan.
Lalu kita pun berpikir seberapa dekat film ini dengan realita yang terjadi. Pihak TNI telah berulang kali menyatakan di berbagai media bahwa kelima jurnalis asing itu tidak dibunuh secara sengaja. Mereka tertembak saat pasukan Indonesia baku hantam dengan pasukan Fretilin.
Secara sinematografi, visualisasi film ini tak buruk, tapi juga tak istimewa. Hasilnya tak begitu tajam, sedikit kabur dan terkesan retro. Dominasi warna kuning dan cokelat bahkan lebih ke arah metalik meskipun setting wilayah itu didominasi hutan. Warna hijau daun dan birunya langit seolah redam.
Kru film memakai lensa tua 1970-an untuk mengambil semua gambar. Dengan begitu, visualisasi cerita lebih tertangkap mewakili masanya, meski semua bisa dilakukan dengan kamera modern dan efek editing. Hasilnya memang kasar, seperti produksi film dokumenter. Mereka juga melakukan editing suara dengan detail. Misalnya, bunyi napas ketika kepanikan kelima jurnalis terkepung maut sangat jelas. Soundtrack yang digarap Lisa Gerrard sangat mewakili nuansa Timor Leste.
Namun, pada akhirnya, film ini memang bukan film dokumenter yang ketat dengan fakta. Balibo Five tetap film fiksi dan terangkai oleh fakta-fakta yang ditemukan--tentu saja dalam versi pembuat film itu.
Adegan rekaan tak terhindar. Adegan East berkelahi dengan Horta di kolam renang adalah fiktif. Sementara adegan lima jurnalis itu senang berkumpul dalam satu meja di luar ruangan saat berada di Benteng Portugis itu nyata. Adegan Greg menulis kata "Australia" dengan bendera mereka di tembok rumah sebagai markas jurnalis itu juga nyata. Connolly mereka-reka dari foto Greg yang ditemukan dengan pose yang sama.
Balibo menempatkan Indonesia sebagai musuh. Ruang peran untuk Indonesia terlalu sempit karena hanya dimunculkan pada beberapa adegan terakhir ketika gambaran Indonesia masuk ke Timor Leste. Pembuat film memang sangat bebas memilih sudut pandang. Meski kita tahu film bernuansa perang pasti tak pernah berimbang. Yang menjadi kekhawatiran adalah efek provokasi ketika penonton tidak memiliki bekal informasi yang cukup terhadap sejarah itu. ISMI WAHID