TEMPO Interaktif, Jakarta - Hujan belum sepenuhnya berhenti ketika puluhan sastrawan satu persatu meninggalkan kafe. Mereka melangkah ke dermaga kecil yang terbuat dari kayu yang menyatu dengan cafe itu. Di sana, sebuah perahu besar dan sejumlah perahu kecil telah menunggu. Para sastrawan lalu meniti anak tangga masuk ke dalam kapal besar.
Tak lama, irama rapa'i mengalun ditabuh oleh sejumlah lelaki berpakaian hitam-hitam bermotif Aceh, ditingkahi suara serune kale -- alat musik tiup khas Aceh. Perahu besar kemudian bergerak pelan yang diikuti oleh delapan perahu kecil yang melaju memotong membentuk formasi tertentu mengitari perahu besar. Perahu-perahu kecil bermesin ini mirip para penari yang mengiring jalannya perahu besar.
Sementara dalam perahu besar, disaksikan para penonton di sepanjang tepi sungai dan jembatan, para sastrawan satu persatu 'berteriak' melafalkan puisi-puisinya. Mereka yang membacakan puisi sore itu, Kamis 6 Agustus, tak hanya penyair Aceh, juga penyair dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Mereka antara lain Fikar W Eda, Rosni Idham, Sosiawan Leak, Ahmad Syubanuddin Alwy, Ahda Imran, Abidah El Khaliqie, Saut Situmorang, penyair hikayat M Yusuf Bombang, juga Hall Judge dari Australia.
Ada pula penyair Tan Lioe Ie dari Bali bersama kelompok blues puisinya mendendangkan sejumlah puisi dalam irama blues. Sejumlah nomor mereka mainkan di atas panggung di atas perahu itu. Sebagian sastrawan dan seniman di atas perahu ikut bergoyang. Begitu pula sebagian penonton di atas dermaga, jembatan, dan tepian sepanjang sungai yang dilewati rombongan pembaca puisi itu -- antara Jembatan Peunayong dan Pantee Pirak.
Pentas puisi di atas perahu adalah salah satu acara Aceh International Literary Festival (AILFest) yang berlangsung pada 5-6 Agustus 2009 di Banda Aceh. AILFest yang menjadi bagian dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-5 itu diikuti oleh sastrawan dari Indonesia, Malaysia, Australia, Austria, Jerman, Italia, dan China.
AILFest dipusatkan di tiga tempat penting yakni Pinto Khob Taman Putroe Phang, Krueng Aceh dan Museum Tsunami. JILFest dibuka oleh Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar di Pinto Khop pada Rabu malam, 5 Agustus, yang ditandai dengan menabuh rapa'i. Pembukaan juga diselingi dengan peluncuran buku antologi sastra Krueng Aceh, yang merupakan kumpulan karya para peserta AILFest.
Pinto Khop yang dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah tempat beristirahat Putri Phang atau Putroe Phang, permasuri Sultan Iskandar Muda. Tempat itu disebut pula sebagai Taman Ghairah. Pintu ini menjadi penghubung dengan istana yang berada beberapa puluh meter dari dari sana.
Sejumlah sastrawan dari dalam dan luar negeri membacakan puisi dan petikan cerpen pada malam itu di bawah udara dingin -- karena kota Banda Aceh baru disiram hujan. Mereka antara lain D Kemalawati, J Kamal Farza, Din Saja, Arafat Nur, Zoelfikar Sawang, Rosni Idham, Sosiawan Leak, Tan Lioe Ie, Hall Judge (Australia), Siti Zainon Ismail (Malaysia), Werner Schulze (Austria), Livia Raponi (Italia), serta Wakil Gubernur Muhammad Nazar.
Esoknya, Kamis (6/8) pagi, para sastrawan itu berkumpul di Museum Tsunami -- sebuah tempat yang menjadi tonggak penting untuk mengingat peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004. Masih dalam rangkaian AILFest, di sana digelar seminar sastra dengan pembicara pengamat sastra asal Jerman Katrin Bandel, Maman S Mahana dari Universitas Idnonesia dan penyair Aceh D Kemalawati.
Sorenya baru para sastrawan beraksi di Krueng Aceh. Krueng Aceh dipilih sebagai tempat acara, menurut Ketua Panitia AILFest Fikar W Eda, karena sungai yang membelah kota Banda Aceh itu sangat bersejarah. Dulu, pada masa Kerajaan Iskandar Muda Krueng Aceh sangat dengan lalu lalang kapal-kapal penumpang dan pedagang dari luar negeri.
Bahkan dulu, mengutip sejarawan, "Air sungai Krueng Aceh bisa menyembuhkan penyakit. Sebab di hulunya ada tanaman-tanaman kayu yang berkhasiat," tutur Fikar. Pentas puisi di sungai itu untuk menghayati sejarah masa lalu sekaligus simbol bagi Aceh kini untuk menuju ke gerbang dunia.
Maka sore itu pun, meski hujan sempat begitu deras mengguyur kota Banda Aceh, para sastrawan tetap bersemangat membaca karya. Mereka menunggu hujan berhenti sambil berpentas di kafe itu. Dan ketika hujan telah reda, mereka pun satu persatu menuju perahu.
MUSTAFA ISMAIL