Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Review Film Women from Rote Island, Kisah Pilu Korban Kekerasan Seksual dari Indonesia Timur

image-gnews
Women from Rote Island. Foto: Instagram/@womenfromroteisland
Women from Rote Island. Foto: Instagram/@womenfromroteisland
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - "Semua orang lahir dari kelamin yang berdarah," adalah kutipan paling kuat yang terus terngiang usai menonton film Women from Rote Island. Film yang memanen Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2023 itu mengajak penonton untuk memerangi masalah kekerasan seksual dari perspektif perempuan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

Karya sutradara Jeremias Nyangoen dari Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang Sinema tersebut secara intens menggambarkan keberdayaan perempuan dalam menghadapi tantangan kekerasan seksual. Women from Rote Island yang sukses membawa pulang Piala Citra kategori film cerita panjang terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) ini mulai tayang di bioskop Indonesia pada 22 Februari 2024. Berikut sinopsis dan review film selengkapnya.

Sinopsis Film Women from Rote Island

Film ini berkisah tentang Orpa (Linda Adoe), yang baru saja kehilangan suami dan tinggal bersama dua anak perempuannya. Dia harus menghadapi diskriminasi dan tradisi dengan berjuang mendapatkan keadilan atas kekerasan yang ia dan anaknya alami. Di sisi lain, Martha (Irma Rihi), anak Orpa pulang ke kampung halaman membawa trauma kekerasan seksual yang menimpanya saat menjadi TKI di Malaysia.

Ketika warga di kampungnya mengetahui kondisi Martha, bukannya mendapatkan perlindungan, ia justru kembali menerima perlakuan yang tidak menyenangkan. Orpa dan keluarganya harus menghadapi diskriminasi dan bertahan dengan kondisi yang tak berpihak pada mereka.

Review Film: Jeritan Perempuan Rote, Korban Kekerasan Seksual

Dalam film ini, penonton akan melihat realitas kekerasan seksual di Indonesia Timur yang jarang atau bahkan tak terjamah untuk diangkat ke layar lebar. Mulai dari keadaan sistem hukum, kondisi sosial, hingga budaya patriarki, yang masih mengadang upaya dalam memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Selain mengangkat sisi kekerasan seksual yang jadi isu kuat, film berprestasi ini merupakan manifestasi dari kebudayaan dan indahnya Indonesia Timur.

Alur berjalan fluktuatif memberikan perasaan roller coaster atau emosi yang berubah-ubah kepada para penonton. Ceritanya dimulai dengan intens, dan melambat di pertengahan adegan. Jeritan perempuan Rote yang bertubi-tubi mengalami kekerasan seksual menghadirkan situasi mencekam dan emosi yang kuat.

Meski begitu, ada kontras jeritan di sini. Sebagai korban yang penuh trauma, Martha hanya diam ketika pulang untuk prosesi pemakaman ayahnya. Lukanya yang pilu membuatnya tak mengucap sapatah kata atau tangisan. Ini merupakan representasi dari perempuan yang kerap dibungkam sebagai korban kekerasan seksual. Raut wajah pilu para pemainnya secara tegas diperlihatkan membuat penonton terhanyut serta memahami bahwa memang ada luka batin yang traumatik.

Dialog Tajam yang Tekankan Pentingnya Sosok Ibu

Dialog yang menggunakan bahasa lokal khas Rote terasa natural, menjadikan orisinalitas film ini sebagai kekuatan tersendiri. Selain itu, aspek pendukungnya juga ditampilkan sedemikian rupa, seperti set rumah adat yang masih terbuat dari kayu, busana, hingga adat istiadat juga memberikan pengalaman menonton yang tak terlupakan.

Penulisnya juga tidak berusaha menghaluskan rangkaian dialog. Seperti di awal, dialog "Semua orang lahir dari kelamin yang berdarah," hadir dalam beberapa adegan. Dialog tajam ini menekankan pentingnya sosok ibu dari perempuan yang justru ironisnya kerap mengalami pelecehan hingga kekerasan seksual. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebanyakan, adegan dalam film ini diambil dengan teknik one shot long take kamera yang dieksesuki secara sukses. Misalnya saat rangkaian dialog para perempuan di dapur yang menunjukkan konflik batin Orpa yang berduka dan terus mendapat intimidasi. Rupanya, hal ini berangkat dari latar belakang sang penulis dan sutradara yang berasal dari teater. Meski tak mudah menghadirkan adegan dengan teknik tersebut, persiapan film yang cukup matang membuatnya tampak mulus.

Budaya dan Keindahan Alam Dikemas dengan Sinematografi Apik

Mengimbangi kisah pilu yang dialami keluarga Orpa, film ini menyajikan budaya dan keindahan alam Pulau Rote dengan sinematografi yang apik. Adat dan kebudayaan Rote melengkapi film ini, yakni tarian dari warga sekitar yang menghibur usai pemakaman suami Orpa. Prosesi pemakaman agama Kristen ditampilkan menggambarkan mayoritas agama di Nusa Tenggara Timur. Nyanyian adat dan lantunan piano yang lembut melengkapi kisah pilu yang ditampilkan dalam backsound film Women from Rote Island.

Lanskap laut dan bukit hijau di film ini membuat penonton kenal akan kekayaan alam Indonesia. Selain itu, ada pula keindahan corak kain tenun yang kerap dipakai warga lokal dalam kehidupan sehari-hari. Walau begitu, film ini juga menampilkan adegan kekerasan yang cukup eksplisit dan membuat penonton ke-trigger dengan konfliknya. 

Hadirkan Babak Cerita dengan Dualitas Pandangan Kamera

Sang sutradara, Jeremias Nyangoen menjelaskan situasi TKI di Indonesia Timur dengan audio-visual yang intens. Dialog demi dialog hadir secara natural menggambarkan situasi masyarakat yang masih kental adat istiadatnya. Suasana di lingkungan keluarga Orpa yang sedang berduka disorot secara detail dan membuat penonton seolah merasakan rentetan kejadiaan pilu yang dialami para tokoh.

Film yang diputar di Busan International Film Festival 2023 itu dibungkus dalam babak cerita. Tiap babaknya, ada deskripsi kuat yang mengarahkan penonton pada rangkaian adegan. Masing-masing babak itu mengisahkan konflik yang dihadapi Orpa dan kedua anaknya.

Berbicara soal adegan yang dibagi dalam babak itu, sang sutradara mengaku hadirkan dualitas pandangan kamera, yakni saat hadir sebagai tokoh dan sutradara. "Impresi ada saatnya kamera saya jadi aktor, dan jadi point of view sutradara sehingga rasanya membuat penonton dekat. Itu adalah hal yang ingin saya capai," ujar Jeremias Nyangoen saat konferensi pers gala premiere film ini pada Jumat, 16 Februari 2024.

Pilihan Editor: Women from Rote Island Tayang di Bioskop 22 Februari, Sutradara Punya Harapan Besar

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

1 hari lalu

Ketua Bidang Penjurian FFI 2024-2026 Budi Irawanto. Foto: Instagram.
FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

FFI masih harus mendiskusikan hal tersebut sebagai kategori baru sehingga belum bisa ditambahkan pada FFI 2024.


Review Film Glenn Fredly The Movie: Nostalgia hingga Menguras Air Mata

2 hari lalu

Glenn Fredly The Movie. Dok. Poplicist Publicist
Review Film Glenn Fredly The Movie: Nostalgia hingga Menguras Air Mata

Glenn Fredly The Movie mengisahkan perjalanan hidup, karier, hingga cinta dari Bung Glenn yang diperankan apik oleh Marthino Lio.


Kasak-kusuk Koalisi Setelah Putusan MK

3 hari lalu

Kasak-kusuk Koalisi Setelah Putusan MK

Ada lobi-lobi disertai pembagian jatah menteri di kabinet. Rencana koalisi PDIP disertai syarat tertentu.


FFI 2024 Angkat Tema Merandai Cakrawala Sinema Indonesia, Ini Artinya

4 hari lalu

Ario Bayu. Foto: Instagram @ariobayu.
FFI 2024 Angkat Tema Merandai Cakrawala Sinema Indonesia, Ini Artinya

Ketua Komite FFI menjelaskan tema FFI 2024 yakni Merandai Cakrawala Sinema Indonesia.


Film Festival Kurang Populer, Ario Bayu Tak Bisa Salahkan Selera Publik

5 hari lalu

Ario Bayu. (Tempo/Thea Fathanah)
Film Festival Kurang Populer, Ario Bayu Tak Bisa Salahkan Selera Publik

Penyelenggaraan FFI dapat memberdayakan produksi film lokal Indonesia dan membuka ruang bagi film festival agar lebih dikenal.


Review Film Siksa Kubur: Horor Religi yang Dikemas Rapi dan Punya Makna Mendalam

20 hari lalu

Poster film Siksa Kubur. Dok. Poplicist
Review Film Siksa Kubur: Horor Religi yang Dikemas Rapi dan Punya Makna Mendalam

Siksa Kubur dimainkan oleh para aktor terbaik nomine dan penerima Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI).


Godzilla X Kong: The New Empire, Melihat Perkembangan Karakter Kong Jadi Pemimpin Sejati

29 hari lalu

Godzilla x Kong: The New Empire. Foto: Warner Bros.
Godzilla X Kong: The New Empire, Melihat Perkembangan Karakter Kong Jadi Pemimpin Sejati

Godzilla X Kong: The New Empire menjadi film kelima dalam franchise MonsterVerse yang dituturkan perlahan tapi diimbangi visualisasi menarik.


Review Film Para Betina Pengikut Iblis 2, Budaya Klenik dan Pendalaman Karakter

32 hari lalu

Poster Para Betina Pengikut Iblis 2. Foto: Max Pictures.
Review Film Para Betina Pengikut Iblis 2, Budaya Klenik dan Pendalaman Karakter

Para Betina Pengikut Iblis 2, seperti halnya film pertama, penonton dibatasi usia 21 tahun ke atas


Review Film Keluar Main 1994, Dilema Remaja SMA yang Relatable

33 hari lalu

Poster film Keluar Main 1994. Foto: Finisia.
Review Film Keluar Main 1994, Dilema Remaja SMA yang Relatable

Film Keluar Main 1994 memadukan unsur budaya, edukasi, keluarga, dan asmara di kalangan anak SMA yang dekat dengan remaja Indonesia.


Review Film 24 Jam Bersama Gaspar: Adegan Laga hingga Senggol Isu Krusial

46 hari lalu

24 Jam Bersama Gaspar. Foto: Instagram/@24jambersamagasparfilm
Review Film 24 Jam Bersama Gaspar: Adegan Laga hingga Senggol Isu Krusial

Dengan penggunaan bahasa Indonesia baku, 24 Jam Bersama Gaspar membuat film ini lebih berkelas lantaran menjangkau penonton yang lebih luas.