TEMPO.CO, Jakarta - Titimangsa Foundation kembali menggelar pertunjukan teater dengan adaptasi dari karya sastra. Pada produksi ke-59 kali ini, mereka akan mementaskan pertunjukan bertajuk Sudamala: dari Epilog Calonarang. Pertunjukan ini rencananya akan digelar pada 10-11 September 2022 di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Pertunjukan ini diproduseri oleh aktor Nicholas Saputra dan Happy Salma. Mereka mengungkapkan pementasan seni berakar dari tradisi ini telah disiapkan sejak akhir tahun lalu. Selama pandemi Covid-19, Nico yang menghabiskan banyak waktunya di Bali kerap berdiskusi dengan Happy mengenai seni pertunjukan di Bali, termasuk Calonarang.
Diangkat dari Seni Pertunjukan Dramaturgi
“Dilihat dari sisi tradisi maupun dari seni pertunjukan: dramaturgi, gerak penari, kostum dan topeng yang dikenakan, serta gamelan yang mengiringi, semua dikreasi dengan detail yang mengagumkan,” kata Nicholas Saputra di Gandaria City, Jakarta, Jumat, 26 Agustus 2022.
Happy mengungkapkan bahwa pertunjukan ini adalah untuk membawa seni tradisi keluar dari Bali. Ia ingin membagikan pengalaman yang dirasakannya kepada penonton di Jakarta.
"Kami ingin menghadirkan pentas seni tradisi namun dengan tampilan dan bahasa yang universal. Ini juga tantangan bagi kami untuk membuat formula baru dengan durasi yang jauh lebih pendek, karena biasanya pertunjukan seni tradisi bisa berlangsung 6-8 jam,” ujar Happy Salma.
Pementasan Sudamala: dari Epilog Calonarang merupakan karya kolaborasi antara 80 orang seniman dan maestro Bali juga kota lainnya. Ini akan menjadi pentas tradisi pertama Titimangsa yang dipentaskan di area terbuka di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Pada 2021 lalu, Titimangsa telah menyelenggarakan pementasan Taksu Ubud di Bali. Usai pementasan, Cokorda Gde Bayu memperlihatkan katalog Exposition Coloniale Internationale Paris 1931. Pada perhelatan yang diselenggarakan kaum kolonial itu, Calonarang tampil di Paris selama 6 bulan bersama Legong dan Janger.
Hal tersebut semakin mebuat Happy dan Nico semakin berani membuat pementasan ini. Dengan bimbingan dari Tjokorda Raka Kerthyasa yang juga adalah ayah mertua Happy Salma, mereka pun diarahkan bertemu dengan beberapa maestro seni tradisi dan pertunjukan di Bali.
Epilog Calonarang, bertajuk Sudamala, dipilih karena dirasa relevan dengan konteks kini. Sudamala berasal dari kata uddha yang berarti bersih, suci, atau bebas dari sesuatu; dan mala yang bersinonim dengan cemar, kotor, atau tak-murni. Maka, Sudamala merupakan upaya untuk menghilangkan yang cemar dari subjek.
"Apa yang akan ditampilkan di Jakarta akan sesuai dengan tradisi kuno yang sudah berlangsung ratusan tahun di Bali, namun dengan tampilan dan sentuhan teknologi modern serta tokoh Bondres yang akan menyampaikan kisah dalam bahasa Indonesia," kata I Made Mertanadi (Jro Mangku Serongga) yang juga bertindak sebagai sutradara pementasan sekaligus memerankan Walu Nateng Dirah. Pementasan ini juga berkolaborasi dengan seniman-seniman seni pertunjukan luar Bali untuk memberikan perspektif dan cara pandang dari kacamata luar Bali,
Wawan Sofwan dipercaya mengurusi dramaturgi pertunjukan, Iskandar Loedin untuk artistik, dan I Wayan Sudirana bersama Gamelan Yuganada mengomposisi musik. Kostum dirancang oleh A.A. Ngurah Anom Mayun Konta Tenaya dan Retno Ratih Damayanti. Sebagai satu kesatuan di dalam pementasan, akan ditampilkan pula barong, rangda, topeng, gamelan, dan wastra yang diproduksi oleh para maestronya.
Sinopsis Sudamala: dari epilog Calonarang
Menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu luar biasa besar serta ditakuti banyak orang termasuk membuat resah raja yang berkuasa saat itu, Airlangga. Hal ini pula yang menyebabkan tak banyak pemuda yang berani mendekati putri semata wayangnya, yang bernama Ratna Manggali. Walu Nateng Dirah sangat kecewa dan mengekspresikan kepedihannya dengan menebar berbagai wabah. Luka hatinya itu akhirnya sementara terobati, setelah Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bahula.
Kehidupan pernikahan ini ternyata dicederai Mpu Bahula. Ia yang ternyata adalah utusan pandita kepercayaan Raja Airlangga, mengambil pustaka sakti milik Walu Nateng Dirah yang akhirnya jatuh ke tangan Mpu Bharada. Walu Nateng Dirah kecewa dan murka, kemurkaanya lalu menimbulkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, Ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda.
Siapakah yang menang dalam pertarungan ini? Apakah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan sakti yang kecewa? Ataukah Mpu Bharada, seorang brahmana suci, pendeta kesayangan Raja Airlangga?
Baca juga: Seri Monolog Di Tepi Sejarah Suguhkan Cerita Lima Pahlawan Akan Tayang Virtual Mulai Hari Ini
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.