TEMPO.CO, Jakarta -Film Prancis berjudul Cuties yang tayang di Netflix menuai kontroversi karena dianggap menonjolkan seksualitas anak-anak. Film ini menceritakan tentang seorang anak perempuan muslim 11 tahun yang bergabung dengan kelompok tari.
Lebih dari 610.000 orang telah menandatangani petisi di Change.org menuntut para pelanggan untuk menghentikan langganan Netflix mereka untuk memprotes keputusan perusahaan layanan streaming film itu untuk menayangkan Cuties pada 9 September 2020.
Meski banyak yang protes bahkan ada trending topic soal #CancelNetflix di Twitter, Netflix menanggapi santai dan meminta para pengkritik untuk menonton film itu. "’Cuties’ justru komentar sosial melawan seksualisasi anak-anak," kata juru bicara Netflix kepada New York Post dikutip Sabtu, 12 September 2020.
Menurut juru bicara Netflix, Cuties adalah film peraih penghargaan dan punya kisah yang kuat tentang tekanan yang dihadapi anak-anak perempuan di media sosial dan masyarakat pada umumnya saat mereka beranjak dewasa. "Kami mendorong siapa saja yang peduli dengan masalah yang penting ini untuk menonton filmnya,"katanya.
Penulis sekaligus sutradara film Maïmouna Doucouré, sama seperti karakter di film yakni Amy, adalah asli Senegal. Dia sudah setahun melakukan riset soal perilaku dan motif anak-anak. Namun tetap saja orang-orang menganggap pencitraan terhadap seksualisasi anak-anak adalah hal yang mengerikan.
Kritikus film Richard Brody berargumen dalam The New Yorker bahwa para pembenci sepenuhnya melewatkan inti dari film tersebut, yang sebenarnya mengkritik struktur yang mengarah pada seksualisasi anak.
"Subjek Cuties bukanlah twerking; anak-anak, terutama anak-anak miskin dan bukan kulit putih, yang kehilangan sumber daya -- pendidikan, dukungan emosional, diskusi keluarga terbuka -- untuk menempatkan media seksual dan budaya pop ke dalam perspektif," katanya.
Richard kemudian mencatat bahwa ia meragukan banyak dari "scandal-mongers" telah benar-benar melihat film yang sangat mereka benci. Film Cuties, sepengetahuannya, tidak merayakan anak-anak yang berperilaku seksual. "Itu mendramatisasi kesulitan dalam membesarkan perempuan dalam budaya media yang seksual dan dikomersialkan," katanya.