TEMPO.CO, Jakarta - Nur Ayu, waria yang tinggal di kompleks Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede Yogyakarta merias wajahnya di sela pintu kamarnya yang sempit. Ia sedang menyiapkan diri untuk berangkat mengamen. Di jalanan, ia bertemu dengan teman-temannya sesama waria.
Kerasnya jalanan tak membuat Nur menyerah, mengadu nasib untuk menyambung hidup. Waria kerap diperlakukan tak manusiawi dan tak adil. Banyak di antara mereka yang seringkali ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Waria seringkali mendapat cap sebagai penyakit sosial sehingga harus direhabilitasi. “Sebagian waria dianggap berbuat kriminal sehingga ditangkap,” kata Nur.
Aktivitas Nur itu menjadi pembuka dalam film dokumenter berjudul Di Barat Matahari garapan sutradara Tonny Trimarsanto. Tonny memutar film itu dalam rangkaian acara program Peduli Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Jumat malam, 3 Agustus 2018.
Film dokumenter berjudul Di Barat Matahari garapan sutradara Tonny Trimarsanto diputar di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Yogyakarta (Shinta Maharani/Tempo)
Nur sangat akrab di kalangan komunitas waria Yogyakarta. Dia koki andalan Pondok Pesantren Waria bila mereka punya acara, misalnya buka puasa bersama, dan mengaji Al Quran bersama. Film itu juga menyuguhkan Nur yang sedang menyiapkan makanan dan berbincang dengan waria.
Tonny pun memotret kegiatan ibadah para waria. Mereka salat berjamaah. Pemimpin Ponpes Waria, Shinta Ratri salat Idul Fitri bersama ratusan orang. Anggota Ponpes Waria juga mengunjungi Ponpes Ummul Quro Pecangaan Kulon Jepara, Jawa Tengah.
Kehidupan beragama dan sosial anggota Ponpes Waria yang damai kemudian terganggu oleh belasan orang atas nama Front Jihad Islam (FJI) yang menggeruduk ponpes yang berdiri di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul itu. Kelompok itu mendatangi ponpes pada 19 Februari 2016.
Komandan FJI, Abdurrahman yang memimpin penggerudukan dicecar pertanyaan oleh jurnalis. Abdurrahman dengan suara keras menyebut waria sebagai perilaku menyimpang. “Kegiatan belajar agama hanya kedok,” kata Abdurrahman.
Bagian lain film berdurasi satu jam itu mengangkat persoalan-persoalan yang waria hadapi di daerah lain. Ada seorang waria yang tinggal di Aceh dan tak kunjung punya kartu tanda penduduk. Sembilan tahun ia hidup tanpa KTP hanya karena ia seorang waria.
Tidak hanya layanan publik, waria mengalami teror Qanun Jinayah, yakni hukuman pidana yang yang diatur berdasarkan syariat Islam. Ancaman hukumannya cambuk, denda emas murni, dan kurungan buat mereka yang melanggar syariat yakni melakukan hubungan badan sejenis. Komunitas waria paling sering menjadi sasaran razia polisi syariah.
Ada juga cerita tentang seorang transgender yang memiliki salon di Aceh. Ia memotong rambut dan merias wajah pelanggannya. Salon itu juga menjadi tempat tinggal dan berbagi cerita sedih para waria. Mereka diusir keluarga. Ada juga yang dipukul hanya karena punya orientasi sesksual yang berbeda.
Kisah tragis dialami Renita, waria yang punya nama asli Muhammad Zein. Renita berasal dari Sulawesi Tengah. Bapaknya pernah memukulinya karena orientasi seksualnya. Orang tuanya menginginkan Renita menjadi dai. Renita terusir dari kampung halamannya karena keluarganya tak mengakui waria. Ia kemudian merantau ke banyak banyak tempat untuk bertahan hidup.
Suatu ketika Renita pulang kampung untuk menemui orang tuanya. Kepedihan kembali menderanya. Ayah dan ibunya telah meninggal. Isak tangis tak terhankan. Saudara dan tetangganya memeluk Renita.
Semenjak diusir orang tuanya, Renita putus kontak. Sekian tahun tak ada kabar dari kampungnya. Kepergian orang tua untuk selamanya itu membuat Renita terguncang dalam kesedihan.
Film itu ia siapkan sejak 2016. Tonny dikenal sebagai sutradara yang berani mengangkat kisah getir hidup waria. Film-filmnya sebelumnya merekam sulitnya kehidupan waria. Renita-Renita, The Mangoes, Bulu Mata adalah film-film bertema transgender yang diputar di banyak festival di berbagai negara. Bulu Mata mengantarkan Tonny meraih penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia untuk kategori film dokumenter panjang terbaik.
Renita Renita merupakan karya pertama Tonny yang dibuat untuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai advokasi hak-hak minoritas. Tonny semakin serius mendalami film bertema transgender. Banyaknya persoalan waria yang belum selesai membuatnya terus menerus memproduksi film dokumenter bertema transgender. “Tidak hanya persoalan identitas, tapi juga ekonomi dan lainnya,” kata dia.
Film-filmnya selama ini banyak diputar di forum-forum terbatas. Tonny tahu membawa isu transgender dalam filmnya sangat sensitif. Ia pernah mengalami ketakutan terhadap teror kelompok-kelompok garis keras yang menolak keberadaan waria. Tapi ia mengatkaan bisa mengatasinya dengan tetap berhati-hati.
Pentas tari komunitas waria setelah pemutaran film berjudul Di Barat Matahari di PKBI Yogyakarta (TEMPO/Shinta Maharani)
Selain pemutaran film karya Tonny, acara PKBI malam itu juga menampilkan tari dari Sanggar Seni Budaya Waria Yogyakarta dan Komunitas Waria Kulon Progo. Ada juga seni instalasi berbentuk perempuan telanjang yang mengangkang di bebatuan yang disusun seperti rel kereta api. Karya seni ini dilengkapi dengan video berlatar rel kereta api dan suaranya. Karya seni yang mengambil latar Bong Suwung ini kreasi dari Perhimpunan Pekerja Seks Yogyakarta dan seniman dua seniman mancanegara, satu di antaranya dari Jerman. “Film, tari, seni instalasi adalah bagian dari strategi advokasi yang kami pilih untuk terus menguatkan komunitas yang dipinggirkan,” kata Direktur Eksekutif PKBI Daerah Istimewa Yogyakarta, Gama Triono.