TEMPO Interaktif, Jakarta:Alif... alif... alif... Tuhan! Alif-Mu tegang di tanganku/Susut di dagingku kelopak di hatiku/Alif-Mu tegak jadi cadak meriuk jadi peruk/ Hilang jadi angan... /Hompimpa hidupku... /Hompimpa matiku.... Syair berjudul Zikir tersebut mengakhiri pidato kebudayaan oleh penyair D. Zawawi Imron di Taman Ismail Marzuki, Rabu malam lalu. Pidato dengan tema Spiritualitas dan Kebebasan Berkesenian ini diadakan untuk memperingati ulang tahun Pusat Kesenian TIM yang jatuh pada 10 November. Pidato berdurasi sekitar 50 menit ini dibuka oleh grup musik dari Minangkabau, Talago Buni. Dengan alat musik tradisional, sembilan pemusik mendendangkan lagu salawat Nabi Muhammad S.A.W. Permainan gendang, suling, kecapi, dan gitar gambus menghasilkan komposisi melodi bernuansa islami. Grup pimpinan Edy Utama ini memadukan musik tradisi Minangkabau, Shalawat Dullang, dengan sentuhan instrumen string dan tiup serta vokal yang nyaring. Mereka membawakan tiga lagu: Pupuik Lambok, Piriang Banyanyi, dan Dawai Bagaluik. Selanjutnya, tampil Ketua Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya yang menjelaskan ihwal acara itu. Pihaknya, sebagai panitia, memilih Zawawi menyampaikan pidato tentang Spritualitas dan Kebebasan Berkesenian karena topik itu memerlukan seseorang yang mendalami spiritualitas dan sekaligus pelaku kesenian.Memang, selain dikenal sebagai penyair terkemuka, Zawawi adalah seorang kiai. Ia anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri, Yogyakarta. Maka, dengan suara lantang, dan sesekali menyelipkan humor, ia pun mengemukakan pikiran-pikirannya tentang berbagai hal, misalnya, tentang kebebasan berekspresi, kemiskinan, lingkungan hidup, juga tentang pendidikan.Tentang kebebasan berekspresi, dalam pidato berjudul Mengembangkan Budaya Santun itu ia menyebut terkadang masyarakat salah paham tentang karya seni, sehingga harus berhadapan dengan pelarangan, pencekalan, bahkan pemasungan. Namun, karya seni, sebagai suara kebenaran estetis dan sebagai suara kemanusiaan, sulit untuk dikubur, katanya. Karya yang dilarang justru makin dicari orang.Zawawi juga mempersoalkan kemiskinan yang masih membelenggu bangsa ini. Di tempat saya, bisa hidup sehari dengan Rp 3.000 saja. Tapi di kota besar, seperti Jakarta ini, uang itu hanya bisa digunakan untuk kencing di tiga stasiun bus, ujarnya berkelakar. Perjuangan orang miskin untuk bertahan hidup diibaratkan dengan perjuangan orang untuk mendapatkan hadiah pada perlombaan panjat pinang untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Tapi itulah gambaran kesulitan orang miskin dalam meraih rezeki dan kesejahteraan, yang dikemas menjadi tontonan gratis, ujarnya.Dalam pidatonya, penyair ini juga mengingatkan pendengar agar tetap berterima kasih kepada petani, nelayan, dan pekerja tekstil. Kalau mereka mogok kita, nggak bisa makan. Kalau tak ada nelayan, lauk pauk kita hambar. Dan kalau tak ada petani kapas, kita tidak berpakaian, ujarnya. Di akhir pidatonya, Zawawi mengaku sengaja tidak membuat makalah panjang. Pasalnya, ia ingin membacakan beberapa puisi, yakni Ibu, Sungai Kecil, Utang, dan Zikir. Puisi berjudul Utang yang dibuat pada 1990, menurutnya, belum pernah dibacakan di TIM, maka ikut dibacakan malam itu....Kalau utang itu sudah menjadi bulu tubuh kami /Menjadi rambut dan bulu ketiak kami /Utang itu mendesir bersama pikiran darah kami /Dan berdetak dengan sejumlah detak jantung kami /Tak sempat kami lunasi sebelum kami mati /Maka utang itu menjadi lumpur nanah /tempat berkubang anak-anak kami..... AGUSILA HIDAYAH
Berita terkait
Tinjauan Xenophobia dalam Psikologis?
1 menit lalu
Tinjauan Xenophobia dalam Psikologis?
Xenophobia sebagai fenomena psikologis, melibatkan ketakutan, ketaksukaan, atau kebencian ke individu atau kelompok yang dianggap asing atau beda.