TEMPO.CO, Denpasar - Untuk merayakan Hari Kebangkitan Nasional, sebuah festival film bertema kebangsaan digelar di Bentara Budaya Bali pada Jumat-Sabtu. “Film-film yang diputar merupakan karya sutradara-sutradara mumpuni lintas bangsa, peraih berbagai penghargaan internasional,” kata Koordinator Acara Sinema Bentara Vanessa Martida, Kamis, 28 Mei 2015.
Film-film yang akan tayang di antaranya: The Pianist (Roman Polanski), November 1828 (Teguh Karya), Die Andere Heimat (Edgar Reitz), dan Die Fetten Jahre Sind Vorbei (Hans Weingartner).
Selain pemutaran film, acara ini juga dimeriahkan dengan sesi diskusi yang menghadirkan narasumber Ida Bagus Putu Sudiarta, dosen Universitas Mahasaraswati. Sudiartha juga seorang jurnalis dan pemerhati film. Dialog akan memperbincangkan lebih jauh perihal tema seputar Tanah Air yang terefleksikan dalam film-film lintas bangsa dan bagaimana karya-karya tersebut memberikan pengaruh pada masyarakat luas.
Misalnya film The Pianist berlatar Perang Dunia II yang berkecamuk di Warsawa. Film ini mengisahkan seorang pianis Yahudi Polandia bernama Wladyslaw Szpilman di tengah kepungan tentara Jerman. Film ini bukan hanya menceritakan tentang kekejaman perang yang menimbulkan banyak korban. Ada juga tentang kehancuran sebuah kota, bahkan sebuah bangsa, serta secara indah dan mendalam menuturkan kemurnian persahabatan antara mereka yang bertempur membela Tanah Air masing-masing. Pesan kemanusiaan yang universal menggenangi seluruh film ini, melampaui kebencian dan rasisme, serta sikap-sikap diskriminatif.
Sementara dari Indonesia ada film November 1828 yang berkisah tentang pemberontakan kelompok penduduk desa di Jawa yang melawan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Dimulai ketika Kapten van der Borst beserta pasukannya berusaha mencari informasi lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludiro mengetahui informasi tersebut. Puncak ketegangan adalah konflik antara De Borst dengan Kromoludiro.
Untuk mengetahui persembunyian Sentot, De Borst memaksa Kromoludiro untuk membuka mulut, antara lain dengan menyandera istri dan anaknya yang masih bayi. Film ini meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia 1979 untuk kategori film, sutradara (Teguh Karya), fotografi (Tantra Surjadi), musik (Franki Raden, Sardono W Kusumo, Slamet Rahardjo), artistik (Benny Benhardi, Slamet Rahardjo), serta Pemeran Pembantu Pria (El Manik).
ROFIQI HASAN