TEMPO.CO, Ambon - Sejumlah anak muda di Kota Ambon menggelar pameran seni jalanan yang mengusung wacana agama, kekerasan, lingkungan sampai gaya hidup modern, pada Sabtu, 6 Mei 2017. Anak-anak muda dari beragam latar belakang, seperti sastrawan, pelukis maupun fotografer itu memadukan beragan acara seperti seni puisi, seni lukis, maupun fotografi, dalam satu tema, yakni Urban Genitals.
Pameran seni jalanan tersebut menggambarkan serangkaian persoalan yang belakangan ini melekat dengan keseharian warga kota, seperti kemacetan dan sampah. Mereka mengkritik pengelolaan tata transportasi dan kebersihan di kota itu.
Kota Ambon meraih penghargaan wahana tata nugraha kategori penyelenggaran sistem transportasi lalu lintas, perparkiran uji kendaraan dan terminal pada awal tahun lalu. Kota ini juga meraih penghargaan Adipura. Namun,Kota Ambon belum sepenuhnya bebas dari sampah dan kemacetan.
Lewat kata, gambar. maupun foto para seniman itu menggunakan media sederhana dari limbah olahan kayu, tripleks serta manekin bekas. Mereka menyulap limbah menjadi bernilai seni.
Ilustrasi puisi, lukisan maupun foto dikemas apik pada satu bingkai berjejer disepanjang tembok lorong Indojaya Jalan Yan Paays. Karena digelar di jalanan, pengunjung dapat melihat serta merasakan secara langsung bagaimana kondisi Ambon dari masa ke masa. “Kata gambar dan foto adalah media yang mudah dipahami untuk menghadirkan keseharian Ambon kemarin dan hari ini, ” ujar seniman Morika Tetelepta.
Selain tema perkotaan, para seniman juga menghadirkan ketegangan relasi antar manusia, kekerasan terhadap perempuan, perilaku agama dan romantika cinta urban. Kisah ini ditonjolkan sebagai cerita-cerita kecil dari sudut kecil.
Seniman menghadirkan cerita ini dengan cukup unik. Untuk melihat data kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu di Kota Ambon, data itu digantung di balik manekin berbentuk tubuh perempuan. Pengunjung harus mengintip di balik payudara manekin itu, seolah-olah diajak memahami pesan dalam karya dan data itu. Pesan bahwa perempuan masih menjadi korban diskriminasi dalam peran sosialnya di masyarakat.
“Semestinya kita tidak memahami kota sebagai lanskap dalam wujud pembangunan saja namun lewat bahasa tubuh dalam kedalaman, menembus lapisan permukaan untuk paham,” ujarnya. Karena itu mereka meletakkan manekin perempuan itu dalam pameran tersebut.
Dalam bidikan kamera, para fotografer memotret kehidupan Maluku secara utuh. Tak hanya seputar kota tapi juga pulau-pulau sekitarnya. “Kami tampilkan foto ini, mereka akan mengenal Maluku lebih luas dan kaya akan sejarah, seperti Di Banda Naira dan daerah-daerah lain di Maluku ,” ujar fotografer Rizalio Akbar.
RERE KHAIRIYAH