Lalu, dukungan dari pemerintah juga relatif minim. Pemerintah hanya menganggarkan dana Rp 865,3 miliar atau 0,09 % dari APBN 2010 yang jumlahnya mencapai Rp 1,009 triliun. Pemerintah juga tak menyediakan kebijakan dan insentif (salah satunya insentif pajak), yakni pemotongan pajak bagi siapapun yang menyumbang kesenian yang mampu mendorong para pihak untuk mendukung kesenian dan kebudayaan.
Hasil penelitian tersebut disampaikan Direktur PIRAC Hamid Abidin dalam diskusi bertajuk “Mencari Format Pembiayaan dan Strategi Penggalangan Sumber Daya untuk Pengembangan Seni-Budaya di Indonesia.” Dalam diskusi yang digelar di Auditorium Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, pada Rabu kemarin itu, Hamid menyatakan, dukungan dan pembiayaan bagi pengembangan serta pelestarian seni-budaya di Indonesia ternyata lebih banyak berasal dari kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) seniman dan budayawan.
Menurut Hamid, para pelaku dan pengelola organisasi seni-budaya juga belum bisa memanfaatkan potensi filantropi yang berkembang pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Survei PIRAC pada 2007, misalnya, menunjukkan bahwa seni-budaya hanya disumbang oleh 3% masyarakat yang menjadi responden.
Dukungan dan sumbangan dari sektor swasta juga masih minim, karena seni-budaya belum dianggap sebagai kebutuhan pokok dan menjadi prioritas utama untuk disumbang. Padahal kesenian telah berkontribusi dan berperan cukup siginifikan pada perkembangan filantropi di Indonesia.
Seni banyak digunakan dalam menggerakkan kegiatan kedermawanan masyarakat lewat kegiatan amal yang biasanya diisi dengan pelbagai pertunjukkan kesenian. Pementasan kesenian umumnya menjadi daya tarik tersendiri bagi calon donatur untuk datang ke suatu acara amal dan menyumbangkan dananya ke lembaga-lembaga sosial.
Di tengah minimnya dukungan dari pemerintah, tutur Hamid, filantropi bisa menjadi alternatif sumber daya untuk pengembangan dan pelestarian seni-budaya. Potensi filantropi bisa didayagunakan dengan mengarahkan masyarakat untuk mendukung seni-budaya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah melalui donor education, memberikan pemahaman kepada donatur individu, perusahaan, dan yayasan amal tentang pentingnya menyumbang kebudayaan.
Potensi filantropi perusahaan juga bisa digerakkan dengan merevitalisasi praktik apresiasi seni-budaya oleh perusahaan, yang pada masa lalu menjadi bagian dari hiburan masyarakat dan penghormatan tradisi. Misalnya, tradisi pentas seni pada pabrik gula, tradisi pentas wayang dan seni lain di perusahaan pada saat tahun baru Jawa.
Yang juga penting, Hamid menambahkan, perlunya membangun dialog antara seniman dan sektor swasta, serta melibatkan mereka dalam kepengurusan dan event kesenian. Selama ini komunikasi berjalan satu arah, yang kemudian melahirkan persepsi yang salah satu sama lain. “Membuka ruang dialog yang terbuka dengan komunitas seniman tentu sangat berpotensi membantu keberlangsungan seni-budaya,” katanya.
Lewat diskusi tersebut, Hamid sangat berharap, pemerintah memberikan dukungan yang luar biasa dalam bentuk APBN dengan menambah anggaran buat seni-budaya. Lalu pemerintah juga memberikan insentif pajak, pengecualian pajak kepada kesenian. “Tanpa dipotong pajak pun pelaku kesenian gak bisa survive, apalagi dipotong,” ujarnya menjelaskan.
Selain Hamid, dalam diskusi tersebut hadir pula pembicara lainnya, seperti Sapta Nirwandar (Dirjen Pemasaran Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata), Butet Kertaradjasa (Ketua Dewan Yayasan Bagong Kussudiardja), Ratna Riantiarno (Pendiri dan Produser Teater Koma), Linda Hoemar Abidin (Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kelola), Sam Udjo (Ketua Yayasan Saung Angklung Mang Udjo) dan Erry Suharyadi (Marketing Manager Jawa Pos).
Ratna Riantiarno dalam makalahnya bertajuk “Manajemen dan Strategi Pemasaran Seni Pertunjukkan” menyampaikan tentang manajemen yang ideal untuk kesenian. Menurut Ratna, manajemen harus sanggup membantu sang seniman untuk sampai kepada pencapaian mutu artistiknya.
Karena itu, manajemen tidak berhak untuk menjadi penghambat. Ratna menjelaskan, kalau melihat kondisi kesenian di Indonesia saat ini, maka manajeman terbukalah yang paling cocok untuk produksi-produksi seni pertunjukkan.
Yenny Shandra Dewi