TEMPO.CO, Jakarta -Joko Anwar melihat film horor Indonesia saat ini mengalami banyak perubahan. Tak lagi hanya menyajikan tontonan penuh kekagetan lantaran penampakan yang muncul tiap menit. Atau tak hanya menjual perempuan-perempuan seksi sebagai etalase di poster dan adegan-adegan horor.
“Tahun ini dan tahun lalu dari jumlah enggak jauh berbeda, tapi tahun ini lebih notable,” tutur Joko saat ditemui Tempo di kawasan Kemang, Ahad, 17 September 2017.
Ia melanjutkan, beberapa tahun lalu film horor sempat naik dan punya panggungnya sendiri. Tapi sayangnya banyak didominasi film yang gegabah. “Sekarang sudah banyak yang juga memikirkan segi cerita,” ujar Joko.
Tahun ini Joko Anwar melihat ada upaya lebih dari para pembuat film horor untuk memproduksi film dengan respek. Hal itu menurutnya penting karena film horor sesungguhnya film yang paling jujur.
“Di layar, film horor menyuguhkan cinematic experience kepada penonton. Itulah yang menurut Joko menjadi nilai pembeda film horor dengan genre lain. Horor, kata Joko, tak menyajikan pretensi, ia hadir dan disajikan apa adanya. Itulah mengapa sudah selayaknya film horor mendapatkan respek sejak proses produksi.
Hal senada turut diucapkan sutradara film Danur I Can See Ghost, Awi Suryadi. Ia mengungkapkan mengapa filmnya bisa tembus jutaan penonton. Meski film horor, Danur menurut Awi masih memenuhi unsur pemenuh film sebagai sebuah hiburan. “Penonton harus bisa dibuat terhibur, cerita boleh saja biasa, tapi tontonan yang sangat menghiburnya harus tinggi,” ujar Awi kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Dalam menggarap film Danur, Awi bersabar untuk tak buru-buru menghadirkan penampakan hantu, atau mengagetkan penonton dalam hitungan menit. “Saya lebih sabar untuk menentukan jump scare-nya, tak sering menghadirkan setan membuat penonton pun tak mudah menebak kapan hantunya akan keluar,” ujar Awi.
Menurut Awi, penting juga untuk memilih latar suara yang tepat dan tak sekadar membuat kaget dan mencekam tanpa alasan. Cara yang diterapkannya saat membuat Danur dianggap cukup sukses meski menurutnya tidak ada formula pasti dalam menggarap sebuah cerita horor yang ideal.
“Intinya tetap pada menghibur. Saya membuat film tapi saya juga menempatkan diri sebagai penonton, apakah saat menonton saya merasa terhibur?” tutur Awi.
AISHA SHAIDRA