Lain lagi penyair asal Bengkulu, Willy Ana, yang membacakan puisi tentang ibu berjudul Samudra. “Ibu//Jika rengek menjadi hujan/tak lelah kau mengayunkan malam/hingga seluas samudra//Matamu sayu//meniti waktu….” Ia membaca puisi itu diwarnai dengan nyanyian mirip tembang Jawa, meski yang ditembangkan bagian puisi berbahasa Indonesia dan sepotong lagu Nina Bobo. Suaranya menusuk dan mistis.
Hasan Aspahani, pemenang buku puisi terbaik Hari Puisi Indonesia 2016, membaca puisi tentang, “Pilkada DKI yang menurut saya jenaka. Judulnya Apa Agamamu Jakarta,” tutur Hasan. “Mungkin Jakarta akan tetap mencoba mengingat-ingat sungai yang dangkal, seseorang berkata bagaimana kau bisa berkaca di permukaan yang kotor itu. Padahal, kata Jakarta, itulah wajahmu dan wajahku. Wajah kita bersama itu…. Ada sejuta fotocopy KTP dibuang di sana, hanyut ke muara….”
Dedy Tri Riyadi, peraih Anugerah Sastra Litera 2017 kategori puisi, membaca puisi berjudul Berlatih Solmisasi. “Seperti kau yang ingin/menuntaskan cemas,/ ia pun berhasrat/menunaikan gegas//perjalanan yang dimulai/dengan pertanyaan sendiri/mau dan mampukah kau/berjalan sampai batas paling nyeri?”
Adapun Kurnia Effendi membaca puisi tentang kopi, salah satunya berjudul Percakapan Secangkir Kopi dan Seorang Penyair. Kurnia membaca puisi itu sambil tangan kanannya memegang segelas kopi dan tangan kiri memegang teks puisi. “Matahari sudah tinggi ketika sang penyair membuka mata. Sebelum menulis puisi ia menyeduh secangkir kopi. Jadi, apa yang kau pikirkan sekarang, tanya kopi….”
MUSTAFA ISMAIL
Video terkait: