TEMPO.CO, Jakarta - Kisah ini diangkatUniversitas Halu Oleo membuat film tentang potret pendidikan di Indonesia Timur. Film berjudul Doa Anak Seorang Pemukul Bel itu berkisah tentang Sumano, anak yang lahir di pinggiran hutan jati Moraa, Kafofo, sebelah timur Desa Kontu Dui, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. dari kisah nyata Sumano yang kelak dikenal dengan Usman Rianse, rektor yang menjabat Universitas Halu Oleo saat ini.
Film ini didanai sepenuhnya oleh Universitas Halu Oleo. Proses produksinya sendiri dikerjakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan dan Studio Audio Visual Puskat. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Tety Pudentia mengatakan pihaknya sangat bersemangat ketika diajak untuk membuat film ini. “Kisah hidup Usman Rianse ini sangat inspiratif dan menggugah. Besar harapan, banyak anak-anak Indonesia yang hidup dalam keterbatasan untuk bisa bangkit dan mengikuti semangat dan usahanya yang pantang menyerah,” kata Tety, usai pemutaran perdana Doa Anak Seorang Pemukul Bel, di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Februari 2016.
“Film ini dibuat karena kami baru membuka Fakultas Ilmu Budaya. Dalam waktu dekat kami ingin membuka jurusan film,” kata Rianse. Film ini, kata dia, diharapkan menjadi salah satu metoda pembelajaran bagi dosen dan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Menurut Rianse, film ini dikerjakan dengan sangat hati-hati. “Jangan sampai film ini menjadi celah untuk menjadi riya (berbuat sesuatu agar dipuji orang lain).“
Film ini mengisahkan kisah hidup Usman Rianse kecil yang hidup dalam kemiskinan, namun tetap bersemangat mencari ilmu. Dalam film ini digambarkan bagaimana Usman kecil tinggal di rumah panggung yang sederhana. Lantai dan dinding kayu rumah panggung yang tak rapat itu mirip dengan kisi-kisi. Dari kisi-kisi itulah Usman melihat dunia. Film itu juga menggambarkan air sebagai sumber daya alam yang amat berharga.
Kelangkaan air, membuat Usman hanya perlu berjalan di kebun singkong untuk mendi. Gesekan daun-daun singkong yang dipenuhi embun dan menyentuh kulitnya telah memenuhi persyaratan mandi pagi. Persoalan guru yang mendidik dengan kekerasan fisik, nepotisme di sekolah hingga perjuangan untuk bisa kuliah di Kendari juga disampaikan lewat film ini.
Sumariella, pengamat film dari Universitas Indonesia menyebut bahwa film ini sesungguhnya berkisah tentang potret pendidikan di kawasan Indonesia Timur. “Film ini banyak berkisah tentang kisah-kisah yang tidak diketahui banyak orang,” katanya. Hanya saja, kata dia, ada beberapa kelemahan yang mengganggu film ini. “Film ini tidak menampilkan interaksi dengan teman-teman Usman Rianse,” katanya.
Slamet Rahardjo, aktor dan sutradara kawakan Indonesia membenarkan. Dalam diskusi usai pemutaran film, dia menyampaikan beberapa kritik membangun. “Tema ini bagus, tetapi menjadi tunggal. Karena tidak ada dimensi orang, seolah-olah mengkultuskan pribadi. Saya yakin sekali Usman Rianse tidak ada maksud seperti itu ketika kisahnya akan difilmkan,” kata Slamet.
Film bergenre dokudrama, gabungan dari dokumenter dan drama itu memang lemah di beberapa bagian. Selain beberapa aspek yang dijelaskan para pakar dalam diskusi itu. Beberapa bagian tampak tanggung. Semisal alasan mengapa Usman menggondorongkan rambutnya saat kuliah tidak dibahas, atau bagaimana seorang guru yang amat keras di sekolah bisa menjadi sahabat Usman juga tidak dibahas, hanya disebut sekilas.
Romansa dan kisah cinta juga cukup mengejutkan. Di antara adegan serius, tetiba para penonton menyaksikan adegan percintaan khas 80-an, di mana seorang gadis dan seorang lelaki gondrong berlari di pantai dengan gerak lambat diiringi lagu Arti Kehidupan.
Meski demikian, film ini harus diapresiasi sebagai usaha untuk menyampaikan semangat dalam mencari ilmu, meraih kesuksesan, pentingnya pendidikan agama. Rianse sendiri menyambut baik kritik dari sang aktor. Dia juga menyebutkan bahwa salah satu alasan pembuatan film ini adalah ingin menyampaikan kritik terhadap pendidikan di kawasan Indonesia Timur yang jarang diperhatikan. “Kami butuh perhatian, bukan hanya pemilu tiap lima tahun sekali,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa program Bidik Misi yang dicanangkan oleh Dijen Pendidikan Tinggi sebagai bantuan biaya pendidikan untuk calon mahasiswa tidak mampu jarang sekali diperoleh mahasiswa Universitas Halu Oleo.
Saat Usman mulai menjabat sebagai rektor, sebanyak 97 persen mahasiswanya berada di bawah garis kemiskinan. “Pendapatan mereka US$2 per kapita per hari,” kata Usman. Lalu angka itu turun menjadi 78,64 persen. Saat Fakultas kedokteran dibuka, kata dia, angka itu turun lagi menjadi 48,64 persen. Tapi, kata dia, Universitas Halu Oleo pernah menurunkan biaya pendidikan mahasiswa ketika terjadi bencana kebakaran beberapa waktu lalu.
“Kami turunkan 25 persen. Sampai sekarang belum kami naikkan kembali,” kata Risman. Dia lantas mempertanyakan perhatian pemerintah. “Jangan karena kami tidak pernah kena bencana alam, tidak ingin memisahkan diri, kami tidak diperhatikan. Apakah harus kami bangun gunung berapi supaya diperhatikan,” katanya.
Rianse juga menyatakan keinginan untuk mengangkat kisah tentang potret pendidikan di kawasan Timur Indonesia ini ke film layar lebar. Dia juga berharap Slamet Rahardjo mau terlibat dalam pembuatan film itu dan terlibat pula dalam membuka jurusan film di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo. Slamet mengaku terbuka dengan ide terlibat dalam pembentukan jurusan film. “Tetapi untuk pembuatan film, saya belum mengiyakan ya,” katanya.
AMANDRA M. MEGARANI